Friday, April 17, 2009

"Tax Haven", Tempat Penggelap Pajak Berlindung

EKONOMI GLOBAL
Selasa, 7 April 2009 | 03:15 WIB

Lebih dari 400.000 perusahaan dunia memiliki alamat di sebuah pulau kecil di British Virgin Islands. Namun, jangan membayangkan alamat itu berwujud kantor-kantor mewah. Wujud ”perusahaan” di sana hanya berupa setumpuk dokumen yang berjejalan di gedung kumuh berlantai dua. Perusahaan yang hanya tercantum di atas secarik dokumen ini disebut sebagai perusahaan kertas (paper company).
Sebagian besar perusahaan di pusat finansial di Karibia itu tidak memiliki pegawai. Semua melaksanakan bisnisnya nun jauh dari Lautan Karibia, sebagian besar juga berniat menghindari pajak di tanah air asalnya.
British Virgin Islands (BVI) menerima keberadaan paper company dengan tangan terbuka. Tentu saja karena para pebisnis asing itu menyumbangkan lebih dari setengah pendapatan Pemerintah BVI. Kedatangan para pebisnis asing itu juga menjadikan BVI sebagai salah satu tempat yang paling makmur di kawasan.
Diperkirakan ada aset sekitar 7,3 triliun dollar AS disembunyikan di beberapa pusat finansial di dunia, selain di BVI, oleh perusahaan dan orang kaya. Mereka melakukan itu untuk melindungi operasional mereka. Salah satu tujuan utama adalah mengurangi beban pajak yang seharusnya mereka bayar.
Walau markas nyata dan bisnis utama mereka ada di AS, misalnya, bisnis mereka tercatat bermarkas di tax haven. Ini bertujuan menghindari pajak penghasilan yang bisa mencapai 50 persen di negara maju.
Perusahaan yang beralamat di wilayah tax haven biasanya menjadi alat saja untuk menghindari pajak di negara asalnya. Selain itu, di wilayah tax haven juga dapat dilakukan pengelabuan nilai aset, pencucian uang hasil kejahatan, serta pengalihan aset. Sekarang, tempat-tempat seperti itu mendapat sorotan dan kecaman yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Definisi
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengidentifikasikan tiga faktor yang membuat sebuah wilayah hukum dapat dikelompokkan menjadi tax haven.
Pertama, pajak yang sangat rendah, bahkan tidak ada pajak, dan menyediakan diri sebagai tempat pelarian bagi warga asing yang menghindari pajak.
Kedua, ada perlindungan ketat terhadap informasi mengenai nasabah. Dengan perlindungan ini, perusahaan atau individu memiliki keuntungan dengan menyembunyikan data sebenarnya dari otoritas pajak di negara asalnya dan hal itu sah menurut perundang-undangan di tax haven.
Faktor ketiga adalah tidak adanya transparansi dalam operasi tax haven ini.
Ada beberapa alasan mengapa sebuah negara atau wilayah ingin menjadi tax haven. Beberapa negara menyatakan mereka tidak perlu membebankan pajak terlalu tinggi seperti yang dilakukan negara maju untuk memenuhi target penerimaan negara.
Beberapa tax haven menawarkan pajak rendah sebagai penarik bagi konglomerat negara lain untuk datang dan melakukan alih teknologi.
Banyak negara maju menyatakan tax haven bertindak tidak adil dengan mengurangi pajak yang seharusnya menjadi hak mereka. Beberapa kelompok juga menyatakan bahwa para pencuci uang menggunakan tax haven secara masif.
Para pemimpin G-20 yang pekan lalu bertemu di London memperingatkan negara yang menolak berbagi informasi pajak akan mendapatkan sanksi berat. Sasaran G-20 adalah tax haven, yang melindungi korporasi penghindar pajak. Karena didera krisis finansial yang cukup hebat, negara-negara maju menginginkan agar pajak yang seharusnya menjadi hak mereka tetap jadi hak mereka.
Beberapa angka fantastis terlibat dalam permainan global, terkait tax haven. Antara 30-40 persen dari aktivitas perdagangan global, yang tidak tercatat
pada rekening bank, atau perusahaan transaksi perdagangan, tetapi di tax haven, setidaknya demikian laporan Jaringan Keadilan Pajak yang bermarkas di London.

Hilang setiap tahun
”Di AS saja, 100 miliar dollar AS pendapatan pajak hilang setiap tahun karena penggelapan pajak,” kata Senator Carl Levin yang telah mensponsori dua rancangan undang-undang yang menghancurkan tax haven.
Boston Consulting Group (BCG) memperkirakan ada aliran dana sebesar 7,3 triliun dollar AS ke pusat finansial di luar AS.
Di BVI, perusahaan terdaftar di Komisi Jasa Finansial (FSC) setempat yang berlokasi berseberangan dengan toko pemasok alat tulis kantor. Sebuah plakat di depannya bertuliskan ”Waspada, Integritas dan Terpercaya”.
Pemerintah menyatakan FSC terlibat tindakan pencucian uang, tetapi tidak memiliki kemampuan melakukan investigasi. Laporan keuangan tidak diharuskan disimpan. Dokumen perusahaan tidak melampirkan identitas pemegang saham maupun susunan dewan direksi.
Keadaan yang sangat ”permisif” itu membuat BVI sebagai salah satu tempat pendaftaran perusahaan terbesar di dunia. Demikian pula Delaware di AS, sebagian besar perusahaan menganggapnya tempat yang sangat penting untuk berbisnis.
Menurut OECD, bersama beberapa wilayah lainnya, BVI tidak memberikan informasi mengenai pajak untuk kepentingan perusahaan dari negara lain. Karena itu, BVI dimasukkan ke dalam daftar abu-abu tax haven.

Upaya keluar
Empat wilayah yurisdiksi lainnya masuk daftar hitam OECD, yakni Filipina, Uruguay, Kosta Rika, dan Labuan di Malaysia.
Salah satu cara untuk keluar dari daftar itu adalah menandatangani setidaknya 12 kesepakatan mengenai kewajiban pertukaran informasi perpajakan dengan negara lain.
Beberapa negara atau teritorial tax taven bergegas setelah munculnya ancaman OECD. Maklum, di BVI, misalnya, sebanyak 24.000 orang khawatir kehidupan ekonomi mereka akan berakhir. Pendapatan dari pendaftaran perusahaan asing sudah dapat digunakan untuk membangun universitas dan sebuah rumah sakit di situ.
Perdana Menteri BVI Ralph T O’Neal, mantan guru sekolah berusia 75 tahun yang memimpin kepulauan itu, menyatakan, serangan terhadap tax haven merupakan serangan kolonialisme dari negara maju yang mendiktekan standar untuk operasi finansial, khususnya ketika mereka tidak taat terhadap aturan mereka sendiri.
Beberapa wilayah yang termasuk daftar hitam OECD akan kehilangan dukungan dari Bank Dunia dan IMF. Banyak kepulauan di Karibia yang masuk dalam daftar abu-abu, termasuk Monako, Liechtenstein, Panama, Bermuda dan beberapa kepulauan di Pasifik. Tempat-tempat itu akan diawasi dan dapat memperoleh sanksi jika tidak dapat memenuhi aturan perpajakan.
Wakil Menteri Keuangan Malaysia Kong Cho Ha dan pejabat Kosta Rika akan meminta klarifikasi dari OECD.
Menteri Keuangan Uruguay Alvaro Garcia cepat-cepat mengirim surat yang intinya menyatakan Uruguay bukanlah tax haven. (AFP/OECD/JOE)

Pengusaha Ritel Minta Tax Refund Turis Asing Segera Diterapkan

Herdaru Purnomo - detikFinance

(Foto: dok detikFinance) Jakarta - Pelaku usaha ritel meminta pemerintah untuk segera menerapkan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau tax refund bagi wisatawan asing yang berbelanja di Indonesia.
Penerapan tax refund akan memicu turis lebih banyak berbelanja di Indonesia sehingga bisa menggairahkan sektor ritel. Dengan begitu Indonesia bisa menjadi surga belanja bagi wisatawan.
"Hal ini dapat meningkatkan daya beli wisatawan asing, pemerintah seharusnya menetapkan di Indonesia agar PPN dari turis dikembalikan dan tidak masuk ke kantong negara," kata pengurus Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) yang juga CEO Senayan City, Handaka Santosa ketika dihubungi detikFinance di Jakarta, Sabtu (11/04/2009).
Bila kebijakan itu tidak dilakukan, lanjut Handaka, maka bisa menjadi salah satu penyebab banyak turis enggan datang ke Indonesia.
"Ini merupkan suatu kebijakan menarik yang dapat meningkatkan perdagangan di Indonesia," pungkasnya.
Pemerintah sendiri memang berencana menerapkan tax refund dalam RUU PPN dan PPnBM yang besarannya masih harus dibahas dengan DPR.
Handaka juga berharap pemerintah lebih peduli terhadap sektor ritel karena industri ini tak kalah dalam penyerapan tenaga kerja terbanyak di Indonesia setelah sektor pertanian.
"Saya pikir selama ini pemerintah belum cukup matang dan selama lima tahun kepemerintahan SBY, belum banyak memberikan kontribusi yang berarti kepada industri ritel di Indonesia," ujar Handaka.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2008, sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh 7,2 persen atau mencapai angka Rp 363,3 triliun.
Ia menjelaskan, Tahun 2008 sektor perdagangan memberikan kontribusi terbesar terhadap total pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yakni mencapai angka 1,2 persen.
"Nantinya jika SBY terpilih kembali diharapkan lebih memperhatikan industri ritel, dengan terus menggalakan usaha-usaha dan membuat kebijakan-kebijakan yang mendorong pertumbuhan industri ini," harapnya.

Empat Negara Keluar dari Daftar Hitam "Tax Haven"

Paris (ANTARA News) - Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pada Selasa, menggeser Kosta Rika, Malaysia, Filipina dan Uruguay dari daftar hitam tax haven (tempat berlindung para pembayar pajak -red,) yang tidak kooperatif, setelah mereka mematuhi tekanan dan berjanji untuk membuka pembukuan mereka.
"Keempat jurisdiksi ini, sekarang telah membuat sebuah komitmen penuh untuk bertukar informasi berdasarkan kepada standar OECD," kata Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria dalam sebuah konferensi pers di Paris.
Mereka adalah negara-negara yang masih berada pada daftar pertama dari tiga daftar yang dipublikasikan, setelah kesepakatan para pemimpin dunia pekan lalu pada KTT G-20 di London, untuk memberikan sanksi kepada negara yang menolak berbagi informasi pajak. Sasarannya adalah tax haven yang melindungi korporasi penghindar pajak.
Penunjukan dalam daftar pertama, empat negara tersebut, OECD mengatakan, tidak berjanji menerima standar pelaporan pajak internasional.
Salah satu cara untuk keluar dari daftar itu adalah menandatangani setidaknya 12 kesepakatan mengenai kewajiban pertukaran informasi perpajakan dengan negara lain.
Kedua "daftar abu-abu" memuat 38 wilayah yang telah berkomitmen terhadap standar internasional, namun belum mengimplementasikan sepenuhnya, dan daftar ketiga mengidentifikasi 40 negara yang telah secara substansial mengimplementasikannnya.
"Saya senang bahwa di sana tidak ada satupun dari 84 yurisdiksi yang biasa dimonitor OECD .... yang masuk dalam kategori tidak menerapkan dan belum berkomitmen untuk menerapkan standar," kata Gurria seperti dikutip AFP.
"Ini adalah perkembangan sangat penting," kata kepala organisasi yang berbasis di Paris itu, yang melakukan koordinasi kebijakan ekonomi dari 30 negara anggota industri maju.
Kosta Rika, Filipina, Malaysia dan Uruguay, sekarang berada pada "daftar abu-abu".
"Mereka telah telah resmi mengkonfirmasikan kepada OECD, bahwa mereka akan komit untuk bekerjasama dalam memerangi penyalahgunaan pajak, tahun ini mereka akan mengajukan undang-undang untuk menggeser rintangan penerapan standar," kata OECD.
OECD mengidentifikasikan tiga faktor yang membuat sebuah wilayah hukum dapat dikelompokkan menjadi tax haven.
Pertama, pajak yang sangat rendah, bahkan tidak ada pajak, dan menyediakan diri sebagai tempat pelarian bagi warga asing yang menghindari pajak.
Kedua, ada perlindungan ketat terhadap informasi mengenai nasabah. Dengan perlindungan ini, perusahaan atau individu memiliki keuntungan dengan menyembunyikan data sebenarnya dari otoritas pajak di negara asalnya dan hal itu sah menurut perundang-undangan di tax haven.
Faktor ketiga adalah tidak adanya transparansi dalam operasi tax haven ini.
Tax haven diamati dengan seksama karena gigitan krisis finansial terdalam selama ini, memicu seruan untuk melakukan aksi radikal pencegahan penghindaran pajak. Karena didera krisis finansial yang cukup hebat, negara-negara maju menginginkan agar pajak yang seharusnya menjadi hak mereka tetap jadi hak mereka.
Setelah pemerintah AS dan Eropa menalangi dana sejumlah bank, para politisi mulai mempertanyakan bagaimana dan mengapa beberapa dari institusi keuangan yang sama dapat terus beroperasi di negara-negara yang mendukung penghindaran pajak.
Transparansi Internasional Prancis tahun lalu, memperkirakan sekitar 10 triliun dolar AS -- empat kali produk domestik bruto Perancis -- disembunyikan dalam rekening rahasia di luar negeri menghindari peraturan atau pemeriksaan pajak.
Dalam KTT G-20 di London, negara-negara yang menerapkan undang-undang rahasia perbankan termasuk Liechtenstein dan Swiss telah menyepakati untuk mentaati regulasi yang memaksa negara berbagi informasi pajak.
Beberapa negara melakukan protes setelah publikasi daftar terakhir, dengan beberapa memperdebatkan penunjukan mereka dan lainnya berjanji membersihkan nama mereka.
Menteri Luar Negeri Swiss Micheline Calmy-Rey, Selasa mengatakan, bahwa daftar OECD berdasarkan kepada kriteria politik. "Mereka tidak memiliki kriteria kualitatif untuki mengeluarkan daftar ini," kata dia kepada para reporter di Berne.
Swiss telah memprotes pencantumannya dalam daftar abu-abu OECD.
Daftar abu-abu OECD juga memasukkan Belgia, Brunei, Chile, Dutch Antilles, Gibraltar, Liechtenstein, Luxembourg, Monaco, Singapura dan negara-negara Karibia seperti Bahamas, Bermuda dan Cayman Islands.
Daftar ketiga dari negara-negara yang telah menerapkan sebagian besar kesepakatan standar pajak, termasuk Inggris, China bagian dari wilayah administrasi khusus, Prancis, Jerman, Rusia dan Amerika Serikat. (*)

Thursday, April 16, 2009

Ditjen Pajak Hapus Denda Keterlambatan Penyerahan SPT

By Republika Contributor
Senin, 13 April 2009 pukul 17:48:00

JAKARTA -- Ditjen Pajak menghapus denda administrasi sebesar Rp100.000 bagi wajib pajak (WP) orang pribadi yang terlambat menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) pajak 2008 bagi mereka yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) pada 2008 dan 2009.

"Penghapusan denda Rp100.000 ini berlaku hingga akhir 2009," kata Dirjen Pajak Darmin Nasution di Jakarta, Senin (13/4).

Menurut Darmin, pihaknya menghapus sanksi denda Rp100.000 itu karena diperkirakan mereka yang memiliki NPWP 2008 dan 2009 belum terlalu memahami mekanisme penyampaian SPT sehingga diberikan kesempatan hingga akhir 2009.

Namun pihak Ditjen Pajak tidak menghapus denda berupa bunga sebesar 2,0 persen bagi mereka yang terlambat menyampaikan SPT tahun pajak 2008. Batas akhir penyampaian SPT PPh orang pribadi tahun 2008 adalah 31 Maret 2009.

Darmin memperkirakan dengan penghapusan sanksi denda administrasi sebesar Rp100.000 itu maka hingga akhir 2009, masih akan banyak penyampaian SPT tahun pajak 2008.

Ketika ditanya apakah penghapusan sanksi denda administrasi Rp100.000 itu tidak bertentangan dengan UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Darmin mengatakan, Pasal 36 UU KUP memang mengatur ketentuan sanksi itu.

"Namun dalam pasal itu juga disebutkan bahwa Dirjen Pajak berwenang untuk menghapuskan sanksi dimaksud," jelasnya.

Sementara itu ketika ditanya apakah pihaknya dapat mencapai target penerimaan pajak tahun 2009, Darmin mengatakan, dalam kondisi ada pengaruh krisis keuangan global maka sulit untuk memproyeksikan penerimaan pajak.

"Realisasi penerimaan pajak selama kuartal I 2009 memang agak pas-pasan, tapi untuk waktu selanjutnya jangan buru-buru mengambil kesimpulan penerimaan perpajakan akan tercapai atau tidak tercapai, berbagai upaya terus dilakukan," kata Darmin.



ant11/taq

Wednesday, April 15, 2009

Hakim Minta Penjelasan Kerugian APBI, Kuasa Hukum Ditegur

Didiek Yulianto, Willy Widianto
Rabu, 01/04/2009 12:13 WIB

Jakarta, beritabaru.com - Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) merasa hak konstitusionalnya untuk memajukan kesejahteraan umum dilanggar, meminta Mahkamah Agung untuk melakukan uji materi Undang Undang No 34 tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang No 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi.

Kuasa hukum APBI, Wasis Susetio mengatakan bahwa penjelasan pasal 2 ayat 1 UU Pajak dan Restribusi Daerah yang mengkategorikan alat-alat berar dan alat-alat besar yang bergerak sebagai obyek yang dikenakan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor bertentangan dengan UUD 1945 alinea keempat, pasal 1 ayat 3, pasal 22A, pasal 23A dan pasal 33. Jadi pemohon merasa hak konstitusionalnya dilanggar.

"Kami minta majelis hakim untuk mengabulkan permohonan kami untuk seluruhnya," ujar Wasis Susetio.

Lebih lanjut lagi dia menuturkan bahwa dirinya menagaku sudah pernah mengajukan hal yang sama ke Mahkamah Agung pada tahun 1999 namun ditolak.

"Tidak dapat diterima, karena tenggat waktunya sudah terlambat 180 hari. Untuk itu kita mengajukan kembali ke MK," jelasnya.

Menanggapi pemohon, Majelis Hakim menilai paparan yang disampaikan masih belum fokus. Hal tersebut disebabkan karena para pemohon yang berasal dari perusahaan pertambangan meminta untuk merubah pasal, namun tidak memungkinkan menurut Hakim.

"Bukan pasalnya yang dirubah tetapi penjelasan saja yang diubah," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Mukhtie Fadjar.

Selain itu, Mukhtie juga minta penjelasan perihal kerugian-kerugian konstitusional yang diderita pemohon, akibat adanya Undang-Undang yang diujikan.

"Coba susun lebih sistematik nggak usah muluk-muluk beberkan kerugian konstitusionalnya," pintanya.

Atas saran Majelis Hakim, Kuasa hukum APBI berjanji akan memperbaiki salinan permohonan dan akan diajukan 14 hari ke depan dalam agenda sidang berikutnya.

"Sangat-sangat bermanfaat penjelasan dari majelis hakim, kita akan segera perbaiki," tukas Wasis Susetio.

Dalam persidangan, majelis hakim juga sempat menegur kuasa hukum pemohon, dikarenakan tidak mengikuti peraturan Mahkamah Konstitusi untuk memakai baju toga selama persidangan berlangsung.

"Anda advokat kan? Kalau advokat sesuai peraturan Mahkamah harus memakai pakaian resmi, toga. Jadi anda harus ikut peraturan resmi," tegas Majelis Hakim Konstitusi, Akil Mochtar.

Sesaat setelah ditegur Tim Kuasa Hukum pemohon pun berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama pada sidang berikutnya.

"Kami akan memakai pakaian resmi pada sidang selanjutnya, tadi kita buru-buru karena sudah telat datang, di jalan macet ada demo," jelas Wasis.

Alat Berat Kena Pajak, Pengusaha Batubara Gugat UU PDRD ke Mahkamah Konstitusi

Kamis, April 2, 2009

JAKARTA APBI-ICMA : Kalangan pengusaha batubara yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menggugat UU nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Mereka keberatan atas pasal 2 ayat 1 UU tersebut yang berisi kendaraan bermotor yang bergerak di jalan darat dan menggunakan mesin terkena pajak kendaran bermotor.

Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Supriatna Suhala, aturan tersebut tidak adil karena alat-alat berat yang digunakan untuk operasional pertambangan juga termasuk sebagai kendaraan yang kena pajak.

"Kalau begitu kan traktor yang digunakan petani harusnya kena pajak juga," katanya ketika dihubungi detikFinance, Kamis (2/4/2009).

Menurutnya, tak adil jika alat berat seperti buldozer disamakan dengan alat transportasi yang berkeliaran di jalan raya dan dikenakan pajak yang sama. Padahal, buldozer dan alat berat lain tidak diperkenankan masuk ke jalan raya.

"Buldozer itu kan bukan alat transportasi tapi alat angkut. Kalau orang bayar pajak mobil itu kan menggunakan jalan umum, tapi kalau buldozer saya kan nggak boleh masuk jalan raya," katanya.

Dengan kondisi ini seperti inilah, Supriatna menilai pengusaha pertambangan sudah dirugikan. Karena meskipun sudah membayar kewajiban pajak kendaraan bermotor, namun alat beratnya tetap tidak bisa masuk ke jalan raya.

"Kami menilai ini bertentangan dengan UU karena kami bayar kewajiban tapi dapat hak yang berbeda," tegasnya.

Menurut Supriatna, besaran pajak yang diberlakukan bisa berbeda di setiap propinsi karena ini merupakan peraturan daerah. Propinsi yang saat ini sudah menerapkan adalah Kalimantan Timur.

"UU pajak daerah ini menggantikan UU nomor 18 tahun 1999. Di UU nomor 18 itu alat berat tidak masuk kategori ini," katanya.

Ia menjelaskan, sebenarnya ada 12 asosiasi yang keberatan atas aturan tersebut, namun cuma APBI yang mengajukannya judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

"Kita minta itu di-review, diterima atau tidak yang penting usaha. Karena kami lihat ada kejanggalan disitu," katanya.

Kejanggalan yang dimaksud Supriatna ini sudah dirasakan sejak lama, yaitu sejak UU dan peraturan pemerintah (PP) nomor 65 tahun 2001 yang terkait diterbitkan. Namun karena pembicaraan dengan pemerintah memakan waktu lama, maka batas pengajuan review PP yang hanya 180 hari jadi kadarluarsa.

"Sebetulnya sudah usaha bicara dengan pemerintah, tapi pemerintah kalau sudah ada UU-nya dan PP-nya (no 65/2001), katanya tinggal dilaksanakan saja. Sebenarnya kami mau review PP-nya ke MA tapi sudah kadaluarsa, PP kan kalau mau di-review tidak boleh lebih dari 180 hari. Kalau UU bisa kapan pun," oleh Supriatna Suhala.


Sumber : detikcom, Jakarta 02 April 2009


Posted by : Ichwan Fuadi

Hapus PPN Jasa Giling , Bisa Turunkan Harga Gula

Senin, 6 April 2009 | 8:26 WIB

SURABAYA | SURYA-Kalangan pelaku pergulaan mengusulkan penghapusan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) Jasa Giling, karena pemberlakuannya justru kontraproduktif dalam upaya menggerakkan sektor riil. Usulan ini sebagai upaya meningkatkan pendapatan pabrik gula (PG) dan sekaligus menurunkan harga gula.

Wakil Sekretaris Jendral Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI) Adig Suwandi mengatakan, selama ini dengan adanya PPN jasa giling telah mengurangi margin PG. Akibatnya, PG berusaha mengalkulasi PPN Jasa Giling dengan biaya produksi.

“Dengan besarnya biaya produksi maka harga gula yang dihasilkan semakin mahal, makanya kami minta PPN Jasa Giling dihapus untuk mengurangi beban biaya produksi,” kata Adig Suwandi di Surabaya, Minggu (5/4).

Menurut Adig, pengenaan PPN Jasa Giling kepada petani tebu tidak pada tempatnya. Pasalnya, kerja sama antara petani tebu dan PG dimulai sejak pengolahan tanah, penyediaan bibit, agroinput, pemeliharaan, tebang angkut, pengolahan, hingga pemasaran. Bahkan, PG menjadi penjamin kredit petani di perbankan untuk menyediaan modal produksi.

Ia membandingkan dengan PPN Jasa Giling untuk petani padi yang sudah dihapus sejak 2001, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No 12 Tahun 2001 di mana barang hasil pertanian harus dibebaskan dari PPN.

Adig menjelaskan, transaksi petani padi hanya terjadi saat penyerahan padi untuk digiling karena sejak awal petani padi membiayai sendiri usaha produksinya. “Perbedaan inilah yang harus dilihat Pemerintah untuk membebaskan PPN Jasa Giling,” ujar Adig.

Dengan demikian, pemberlakuan PPN Jasa Giling kontraproduktif terhadap upaya pemerintah untuk menggerakkan sektor riil. “PPN Jasa Giling jelas bertentangan dengan semangat revitalisasi pertanian dan komitmen untuk mewujudkan swasembada gula sebagai jaminan harga gula tetap murah,” ujar Adig, yang sebelumnya menyesalkan pemblokiran rekening tiga PTPN usaha pergulaan oleh Ditjen Pajak, meski saat ini telah dibuka kembali.

Adig mengakui, sejumlah fakta hukum menunjukkan adanya beberapa PG yang menempuh jalur hukum dengan mengajukan banding ke pengadilan tentang PPN Jasa Giling. Mereka dinyatakan menang sehingga tidak perlu membayar PPN Jasa Giling dan berhasil menambah pendapatan.
PG dimaksud yakni PT Kebon Agung (2000), PG Madu Baru (2002), PG Pradjekan di bawah PTPN XI dan PTPN IX (2007). “Itu yang diharapkan PG untuk dapat menekan biaya produksi melalui pembebasan PPN Jasa Giling,” tutur Adig Suwandi. aru

Tujuh Tersangka Kasus Asian Agri Menjabat Direktur

Senin, 06 April 2009 | 18:49 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Jaksa Agung Muda Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga mengatakan, dua dari sepuluh tersangka kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri Group adalah dua direktur perusahaan yang bernaung di bawah grup bisnis milik taipan Sukanto Tanoto itu.

Kedua direktur itu, lanjut Ritonga, dijadikan tersangka karena meneken surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak yang diduga telah dimanipulasi. “Mereka menandatangani SPT untuk satu perusahaan,” kata Ritonga di kantornya, Senin (6/4).

Dia mengatakan, dari sepuluh tersangka, tujuh di antaranya menjabat direktur di perusahaan yang berbeda. Mereka, kata Ritonga, ada yang meneken SPT untuk satu perusahaan, tiga perusahaan, bahkan empat perusahaan. Adapun tiga tersangka lainnya adalah staf perusahaan.

Kejaksaan Agung dan Departemen Keuangan pada Jumat lalu sepakat melanjutkan penyidikan kasus dugaan penggelapan pajak senilai Rp 1,4 triliun hingga ke pengadilan.

Kendati penyidik Direktorat Jenderal Pajak telah merampungkan 21 berkas penyidikan dan menetapkan sepuluh tersangka, kedua lembaga sepakat untuk merampungkan berkas secara bertahap, dimulai dari dua berkas penyidikan dengan dua tersangka terlebih dahulu.

Namun Ritonga enggan mengatakan nama dan asal perusahaan kedua tersangka itu. “Ini masih dalam penyidikan Direktorat Jenderal Pajak,” ujarnya. Dia menambahkan, sejak kesepakatan dibuat Jumat lalu, jaksa sudah mulai efektif berkerja sama dengan tim Pajak.

ANTON SEPTIAN

Sunday, April 12, 2009

nite sucks!

hell yea good nite for me,
a boy spend the nite on the way...
then the car stoped
i dont know why,
just smells burned...

hell yea good nite for me
just wait in the car...
smokin n listenin some songs
some sad songs
remind me to a girl rejected me

hell yea good nite for me
i wanna close my eyes but...
i cant sleep,
i cant dream tonite
i hope this wont end like story of a horor movie

Silakan Buang Sampah...


Kalo kebetulan ada yang lewat di Jalan Setia Luhur mau ke Jalan Kapten Muslim - Medan mungkin bakal baca tulisan yang ada di foto di atas. kebetulan aku lagi di Medan jadi rencananya mau jalan-jalan ke Plaza Medan Fair. keluar dari kos jalan kaki dan jarak dua ratus meter kira-kira dari kos-ku, aku nemu tulisan itu.

terus apa yang mau aku sampaikan di sini? aku rasa kamu udah pada tau...

Wednesday, April 8, 2009

i was on the move to Medan


Dingin banget, udah lama ga ke Medan. Sebulan mungkin. Bahkan teh hangat, rokok, dan Pop Mie juga ga membantu... Penduduk asli Merek, daerah kami singgah, juga merasakan dingin yang sama. tapi anehnya driver kami ga kayak orang lagi kedinginan, dia enjoy aja nglenggang kangkung. dasar badak!!!

Thursday, April 2, 2009

Visi dan Misi Direktorat Jenderal Pajak

Visi Direktorat Jenderal Pajak:
Menjadi Institusi pemerintah yangmenyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien, dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi.

Misi Direktorat Jenderal Pajak:
Menghimpun penerimaan pajak negara berdasarkan Undang-undang Perpajakan yang mampu mewujudkan kemandirian pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui sistem administrasi perpajakan yang efektif dan efisien.

Sejarah Direktorat Jenderal Pajak

Organisasi Direktorat Jenderal Pajak pada mulanya merupakan perpaduan dari beberapa unit organisasi yaitu :
Jawatan Pajak yang bertugas melaksanakan pemungutan pajak berdasarkan perundang-undangan dan melakukan tugas pemeriksaan kas Bendaharawan Pemerintah;
Jawatan Lelang yang bertugas melakukan pelelangan terhadap barang-barang sitaan guna pelunasan piutang pajak Negara;
Jawatan Akuntan Pajak yang bertugas membantu Jawatan Pajak untuk melaksanakan pemeriksaan pajak terhadap pembukuan Wajib Pajak Badan; dan
Jawatan Pajak Hasil Bumi (Direktorat Iuran Pembangunan Daerah pada Ditjen Moneter) yang bertugas melakukan pungutan pajak hasil bumi dan pajak atas tanah yang pada tahun 1963 dirubah menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi dan kemudian pada tahun 1965 berubah lagi menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Dengan keputusan Presiden RI No. 12 tahun 1976 tanggal 27 Maret 1976, Direktorat Ipeda diserahkan dari Direktorat Jenderal Moneter kepada Direktorat Jenderal Pajak. Pada tanggal 27 Desember 1985 melalui Undang-undang RI No. 12 tahun 1985 Direktorat IPEDA berganti nama menjadi Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Demikian juga unit kantor di daerah yang semula bernama Inspeksi Ipeda diganti menjadi Inspeksi Pajak Bumi dan Bangunan, dan Kantor Dinas Luar Ipeda diganti menjadi Kantor Dinas Luar PBB.
Untuk mengkoordinasikan pelaksanaan tugas di daerah, dibentuk beberapa kantor Inspektorat Daerah Pajak (ItDa) yaitu di Jakarta dan beberapa daerah seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Inspektorat Daerah ini kemudian menjadi Kanwil Ditjen Pajak (Kantor Wilayah) seperti yang ada sekarang ini

Wednesday, April 1, 2009

Kawasan Perdagangan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun Berlaku Hari Ini

Rabu, 01 April 2009 07:09 WIB

JAKARTA--MI: Kawasan Perdagangan Bebas atau Free Trade Zone (FTZ) yang meliputi Pulau Batam, Pulau Bintan, dan Pulau Karimun (BBK) akhirnya berlaku efektif per 1 April 2009. Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan telah mengeluarkan aturan terkait penerapan FTZ BBK tersebut.

"Ya, berlaku 1 April 2009 ini," ujar Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, melalui pesan singkat yang dikirimnya dari London, Inggris, Selasa (31/3).

Sebelumnya, Menteri Perdagangan telah mengeluarkan Permendag No 12/M-DAG/PER/3/2009 tentang Pelimpahan kewenangan penerbitan perizinan di bidang perdagangan luar negeri kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Batam, Bintan dan Karimun. Permendag tersebut telah ditetapkan pada 27 Maret 2009 lalu.

Diantara isi Permendag tersebut menyebutkan bahwa Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas BBK atau KPBPB-BBK, adalah suatu kawasan yang berada di dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah dan cukai.

Mendag melimpahkan kewenangan penerbitan perizinan di bidang perdagangan luar negeri kepada Badan Pengusahaan (BP) Kawasan BBK. Sementara Ketua BP Kawasan BBK bertanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan penerbitan perizinan.

Sementara itu Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani juga juga telah mengeluarkan peraturan menteri keuangan (PMK) No.45/PMK.03/2009 tentang tata cara pengawasan, pengadministrasian, pembayaran serta pelunasan pajak pertambahan nilai dan atau pajak penjualan atas barang mewah atas pengeluaran dan atau penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak dari kawasan bebas ke tempat lain dalam daerah pabean dan pemasukan dan atau penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak dari tempat lain dalam daerah pabean ke kawasan bebas. (JJ/OL-03)

ICW Laporkan Dugaan Korupsi Proyek Pajak

Rabu, 01 April 2009 | 16:08 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta: Indonesia Corruption Watch laporkan dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek "Pembangunan Basis Data Pajak Paket X" 2004. Dugaan korupsi berupa rekayasa pemenangan tender oleh rekanan, yaitu PT Sucofindo.

Modus korupsi dalam proyek senilai Rp 3,2 Milliar itu, PT Sucofindo berperan sebagai pemenang tender yang memberikan sejumlah uang berupa return commission kepada tiga lembaga yang merekayasa pemenangan. Proyek itu dilaksanakan di wilayah kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan di Semarang, Ungaran, dan Demak.

Akibat rekayasa pemenangan tersebut, negara dirugikan senilai Rp 1,6 Milliar. Kerugian itu berupa return commission yang diberikan PT Sucofindo kepada PT Displan Consult dengan nilai kontrak Rp 238,5 juta, PT Exsa International dengan nilai kontrak Rp 758 Juta dan Lembaga Penelitian Universitas Negeri Semarang (Lemlit) UNNES dengan nilai kontrak Rp 567 juta.

"Rekayasa kontrak fiktif tersebut juga disamarkan dengan pencantuman data mundur oleh PT Sucofindo, bahwa kontrak sudah dilakukan sejak September 2003 hingga April 2004," ujar Divisi Investigasi ICW, Agus Sunaryanto.

Laporan kasus ini telah disampaikan ICW ke bagian Pengaduan Masyarakat (Dumas) Komisi Pemberantasan Korupsi pada pukul 14.00 wib, Rabu, (1/4).

CHETA NILAWATY

PENYERAHAN SPT PAJAK Ditjen Pajak Butuh Waktu Satu Bulan untuk Periksa Kelengkapan SPT

Senin, 30 Maret 2009 | 11:14

JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak setidaknya membutuhkan waktu satu bulan untuk memberi kabar kepada wajib pajak (WP) orang pribadi terkait kelengkapan surat pemberitahuan tahunan (SPT) yang sudah disetorkan.

Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengatakan, hal itu lantaran berubahnya sistem penyerahan SPT WP. Pertama, di bedakan jangka waktunya antara WP orang pribadi yang di patok 31 Maret dan WP badan tanggal 30 April. Kedua, soal penyerahan tanda bukti setoran SPT.

Mengenai kriteria kedua, Darmin menjelaskan, bila dulu penyerahan SPT langsung disertai pemeriksaan kelengkapan dan kemudian baru bisa mendapatkan tanda bukti penyetoran maka sekarang bisa langsung mendapatkan. "Sebenarnya kita mengubah prosedur, SPT yang diterima akan diperiksa lebih lanjut di kantor pelayanan pajak (KPP) lengkap atau tidak. Dalam jangka waktu satu bulan akan dikabari apakah ada yang kurang atau tidak," ucap Darmin, Jumat (27/3).

Hal itu dengan pertimbangan, WP OP tahun ini mendapatkan keleluasaan untuk menyerahkan SPT dimana saja, yakni di seluruh KPP maupun di kantong-kantong mini Ditjen Pajak atau kerap di sebut drop box yang di sebar di mall hingga rumah sakit.

Menurut Darmin, pertimbangan pemerintah perubahan prosedur juga lantaran jumlah nomor pokok wajib pajak (NPWP) kantong Ditjen Pajak saat ini mencapai yakni 12,7 juta NPWP. Jumlah NPWP yang dikantongi NPWP tahun lalu sendiri hanya setengah dari jumlah sekarang. "Dengan jumlah NPWP sekarang kalau masih sistem lama yah orang akan marah-marah karena lama," sambungnya.

Dengan demikian, seharusnya tidak ada alasan lagi bagi WP OP untuk tidak menyerahkan SPT tepat waktu. "Tapi yah memang masih banyak yang belum mengumpulkan karena mungkin menganggap denda Rp 100 itu kecil," sambung Darmin.

Makanya, Darmin mengaku tidak bisa menyebutkan berapa target jumlah SPT yang dikantongi Ditjen Pajak pada 31 Maret 2009. Ditjen Pajak bahkan bakal terus memantau penyerahan SPT sampai akhir tahun ini.
Martina Prianti

SPT tak langsung diperiksa

Jumat, 27/03/2009 18:33 WIB

JAKARTA (bisnis.com): Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengatakan dalam penyampaian SPT kali ini, SPT yang dilaporkan oleh WP tidak akan langsung diperiksa petugas pajak melainkan hanya diberikan nomor dan tanda terima.

“Kalau dulu saat orang memasukkan SPT kan sudah diperiksa dan dicek kalau sudah lengkap baru dikasih tanda terima dan baru dianggap sudah lengkap,” jelasnya, saat ditemui di kantornya, hari ini.

Tapi sekarang, lanjutnya, yang terpenting adalah SPT masuk dulu baru kemudian dikirimkan surat pemberitahuan kepada WP apabila ternyata SPT yang disampaikan belum lengkap. “Ada jangka waktunya sekitar sebulan petugas pajak akan beritahukan ke WP kalau ada [SPT] yang belum lengkap,” katanya.

Darmin mengungkapkan perubahan mekanisme penyampaian SPT tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi WP dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakannya.

Berdasarkan surat pengumuman Ditjen Pajak nomor PENG-04/PJ.09/2009, penyampaian SPT bisa dilakukan melalui pojok pajak, mobil pajak, drop box [kotak pajak], kantor pelayanan pajak (KPP) terdekat dan Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2P) terdekat.

“Nanti petugas pajak akan memilah-milahnya berdasarkan masing-masing KPP [domisili], mana dari KPP A, mana dari KPP lain-lainya,” jelasnya.

Berdasarkan pemantauan bisnis.com di sejumlah KPP, WP yang melakukan pengembalian SPT hari ini terus bertambang dibandingkan hari-hari sebelumnya. Di KPP Pasar Minggu, misalnya, dipadati WP sehingga mereka sulit parkir kendaraannya.

Namun prosesnya relatif cepat. “Tidak sampai sepuluh menit, jika lebih saya akan berikan teh botol gratis,” kata seorang petugas.

Menurut Darmin, konsekwensi dari perubahan mekanisme tersebut akan menyebabkan SPT yang disampaikan lebih lambat masuk ke dalam sistem. “Sehingga kapan SPT itu masuk ke sistem, pastinya bukan Maret ini. Kalau dulu kita sudah tau datanya tapi tidak semua di akhir Maret,” ujarnya. (ln)

Sumber: Bisnis Indonesia Online

Pajak: Kerahkan 130 Pemeriksa, Lewat Desember, Penjara 6 Tahun

Rabu, 1 April 2009 | 11:34 WIB

SURABAYA | SURYA-Dirjen Pajak (DJP) Kanwil Jatim I yang meliputi Kota Surabaya siap mengerahkan 130 petugas pemeriksa pajak dan 10 penyidik untuk ‘memburu’ warga yang hingga deadline 31 Maret 2009 tak menyerahkan SPT PPh 2008.

Kepala Kanwil DJP Jatim I Ken Dwijugiasteadi mengatakan, yang terlambat menyerahkan SPT perorangan dikenai denda Rp 100.000. Mereka ini masih diberi kesempatan menyetor hingga akhir Desember 2009. Namun, kalau sengaja tak menyetor, bisa dipenjara maksimal 6 tahun.

“Kami punya tenaga penyidik (PPNS). Tapi, pelanggar tidak langsung disidik. Ada prosesnya. Yang jelas, pada dasarnya kami lebih mementingkan bagaimana melayani masyarakat,” papar Ken, Selasa (31/3).

Sementara itu, hasil pantauan di lapangan menyebutkan, para wajib pajak (WP) Surabaya merespons serius penyerahan SPT PPh. Antrean penyetor meluber sejak pagi. Di KPP Rungkut di Jl Jagir, misalnya, pada pukul 09.00 WIB nomor antrean sudah sampai 253. Sedangkan di KPP Pratama Sawahan pada pukul 11.00 WIB antrean sampai 900 orang.

Agar tak telat, sebagian WP terpaksa meminta izin atasan untuk masuk kerja setengah hari. Arum, 25, karyawan sebuah perusahaan di Ketintang yang mengurus di KPP Wonocolo, misalnya, mengungkapkan hal ini. “Daripada kena denda,” ungkapnya. Hal senada juga diungkapkan Rini yang mengurus di KPP Genteng Jl Kayoon.

Kabid Penyuluhan Pelayanan dan Humas Kanwil Ditjen Pajak Jatim I Unggul Budiono mengatakan jumlah WP yang mendatangi 13 KPP di Surabaya kemarin melonjak hampir 10 kali lipat dari hari biasa. “Selama Februari-Maret, rata-rata setiap KPP hanya didatangi 100-an WP. Dalam dua hari terakhir yang datang mencapai 1.000-an WP,” tuturnya.

Itu sebabnya, tempat pelayanan diperluas hingga di 13 mal se Surabaya, termasuk Tunjungan Plaza, Sutos, Mal Galaxy, dan Cito. Jam pun diperpanjang, kalau di KPP sampai pukul 19.00 WIB, di mal sampai pukul 17.00 WIB.

Ken Dwijugiasteadi menambahkan, pihaknya tidak menarget jumlah WP yang menyerahkan SPT. ”Saya tidak bisa menjamin sampai 100 persen. Sebab bisa saja mereka membayar denda keterlambatan Rp 100.000 saja,” tuturnya.

Hingga Senin (30/3) atau H-1, jumlah SPT yang disetor 138.000 lembar atau sekitar 52 persen dari total 266.000 WP yang terdaftar di kanwil DJP Jatim I. Ken yakin pada hari terakhir akan ada penambahan signifikan jumlah WP yang menyampaikan SPT. Ytz/sda

Keterlambatan Setor SPT
1. Denda Administrasi (Pasal 7 UU 28/2007)
==Rp 1 juta untuk SPT tahunan badan
==Rp 500.000 untuk SPT tahunan orang
==Rp 500.000 untuk SPT masa PPn
==Rp 100.000 untuk SPT masa lainnya.
2. Bunga (Pasal 8 UU 28/2007)
3. Kenaikan (Pasal 13 UU 28/2007)
4. Pidana
==Kurungan 1 tahun dan atau denda 2 x SPT kalau lupa setor SPT atau isi tidak benar (Pasal 38 UU 28/2007).
==Kurungan 6 tahun dan atau denda 4 x SPT kalau sengaja tak setor SPT atau isi tak benar ( Pasal 39 UU 28/2007 )

Sumber : www.pajakonline.com