Sunday, January 31, 2010

Qual a melhor época para se tatuar

Não é recente a discução sobre qual é a melhor altura do ano para tatuar-se. Há quem defenda que é o inverno e quem prefira tatuar-se no verão, ainda os que acham que é indiferente e o que vale mesmo é uma boa tattoo.

Confira abaixo a opinião dos 246 leitores que participaram desta enquete.

Prefere tatuar no:

Indiferente: 84 votos (34%)
Inverno: 84 votos (34%)
Verão: 78 votos (31%)


Douglas, estúdio Tattoo Art em Santos

Boa noite, parabéns pelo site! Gostaria de inscrever meu namorado para divulgação de seus trabalhos, pois ele é um excelente desenhista e maravilhoso tatuador... Então seguem as fotos e desenhos.

Tatuador: Douglas
Cidade: Santos (SP)
Estúdio: Tattoo Art
Endereço: Rua João Pessoa, Nº. 154 – Alto – Centro de Santos
Orkut
Telefone: (13) 3224.6789


Claudia Valente, Carpa na perna, 180

"Esta é minha quarta tatuagem de um total de 5 (por enquanto!)
Estou pensando em fazer mais... é um vicio!!!

Foi feita por Célio - Studio em Itaboraí


Claudia Valente
 

Cássia Marques, Rosas em Homenagem, 179

"Oi, bom dia pessoal!!!

Bom, minha mãe passa já há mais de 10 anos por problemas psiquiatricos. Com 15 anos tatuei o nome de meu pai que aliás amo muito. Quando fiz 18 anos decidi fazer um par de asa de borboleta nas costas e pensei em escrever o nome da minha mãe, mas por consideração, pois a família achava errado o que havia feito para meu pai e pra ela não.

Foi quando em um momento de lucides, minha mãe pediu que fizesse algo que pudesse lembrar dela com carinho, sem rancor nenhum, e apartir dali olhasse pra aquela tatuagem e lembrasse de como ela era doce também e vivamos bem na maior parte tempo, quando estava cuidado de suas flores. Ela pediu que eu fizesse algumas rosas. Não fiz as asas mas e vi o quanto a amo e que ela me ama também, mesmo que não tenha conciência na maior parte do tempo. Ela é uma parte de mim muito especial e só posso dizer que estou ficando cada dia mais feliz, pois ela esta melhorando e a cada dia que passa temos uma novidade de que ela está vivendo melhor, convivemos com esses resultados vendo ela em casa sem crise e até saindo dos remedios.

Não entendo o que fez ela me pedir para fazer esse desenho mas foi o que nos aproximou e dai indiante a fez melhorar. Só tenho a agradecer.

Valeu pessoal.

Estudio: Vendetta Tattoo
Tatuador: Cristiano"

Cássia Marques


Novos trabalhos de Sergio Bensdorp

Sergio Bensdorp Junior tatuador de Marilia, São Paulo em sua quarta participação no A Tattoo.

Tatuador: Sergio Bensdorp Junior
Estúdio: Fantasy Tattoo
Endereço: Rua 9 de Julho nº 1576 Centro
Cidade: Marilia, SP
Fone: (14)4101-0351 Cel:(14) 8119-3438
Orkut: Sergio Fantasy Tattoo
Blog: www.fantasytattoo.blogspot.com

Marcelo Wsolek, Tiamat, 178

"Boa tarde!!!
Estava navegando em seu site e verifiquei a solicitação para encaminhar as fotos do Tiamat da caverna do dragão.

Seguem as fotos que não ficaram muito boas, pois trata-se de uma câmera de celular. Sou de Curitiba, e espero ter contribuído para solicitação.

Tatuada na praia da Ferrugem - Garopaba - Sc, em fevereiro de 2001 por Dé Tattoo - Porto Alegre."

Marcelo Wsolek


Participe também do quadro Minha Tattoo.

Saturday, January 23, 2010

Wayang (part 1): Semar Sang Bathara Ismaya



Dewasa ini gak tau kenapa gw jadi tergila-gila sama cerita wayang padhal waktu kecil sama sekali tertarik pun bokap sering cerita tentang wayang dengan pengetahuannya yang ala kadarnya. Bagus juga si, berati tandanya gw lebih Njawani sebagai manusia yang diciptakan Sang Pencipta dan dititipkan di Tanah Jawa dengan segala budayanya yang mendidik gw selama sembilan belas taon sebelom gw menjalani pengembaraan ke tanah seberang di Sumatera ini. Wayang sebagai produk budaya asli Jawa yang diadopsi dari cerita dalam kitab-kitab Hindu India yang kemudian berakulturasi dengan sentuhan Islam setelah diejawantahkan sbagai pertunjukan Wayang Kulit oleh salah seorang tokoh Wali Sanga, Sunan Kalijaga, menurut gw ceritanya tuh punya pesona tersendiri yang nilai sastra serta filosofisnya begitu eksotis buat diikuti.

Sekarang tokoh pewayangan yang pingin gw bahas adalah Semar, kenapa? Gak tau ya tapi menurut gw tokoh ini paling unik dan penuh dualisme. Semar berkepala Laki-laki tapi punya payudara dan pantat layaknya wanita, mulutnya selalu tersenyum tapi matanya meneteskan air mata, rambutnya yang kuncung kayak anak kecil tapi putih penuh uban, badannya berdiri tapi juga jongkok. Kalo yang gw pahami dari semua cerita yang pernah gw baca di buku-buku karya Pak Pitoyo Amrih konon Semar itu tokoh yang abadi, gak pernah mati dan selalu ada buat momong peradaban manusia biar setiap lelakunya selalu sejalan dengan petunjuk Yang Maha Kuasa.

Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.

Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah – yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar – mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
sumber

....
bumi gonjang-ganjing
langit kelap-kelap...
Semar, ngeja wantah!!!


Kurang lebih kayak gitu yang pernah gw denger dari Ki Manteb di TV dulu waktu gw masi SD. Tokoh Semar adalah perlambangan kebijaksanaan di cerita pewanyangan, tokoh yang selalu "momong" para raja dan ksatria sehingga bisa menempuh jalan hidup yang luhur. pertanyaan gw selama ini adalah "sapa dan kapan Semar dilahirkan?" karena di cerita Ramayana dan Mahabharata asli ga disebutkan adanya tokoh Semar, yang ada cuma Bathara Ismaya. Semar cuma ada di cerita pewayangan Jawa yang memang diidentikan/merujuk kepada seorang Dewa bernama Bathara Ismaya. Dulu gw pikir Semar cuma figur bikinan Kanjeng Gusti Sunan Kalijaga (pencipta wayang kulit) tapi pas liat di Wikipedia kok ada relief Semar di Candi Sukuh yang dibangun pada era ahir Majapahit? Terus tadi gw coba browsing dan ada penjelasan tentang pertanyaan gw di forumnya Kapan Lagi, threat-nya: sejak kapan semar muncul dlm budaya jawa? dan berikut penjelasannya...

Munculnya nama Semar

Nama Semar dikenal sejak jaman Prabu Syailendra yang merupakan raja dari kerajaan Jenggala. Munculnya legenda semar ini diawali dengan kisah dimana konon saat prabu syailendra berusia muda beliau sering sekali menerima wejangan2 yang didapat melalui proses supranatural atau yang dikenal dengan ‘wangsit’. Sebagai seorang raja pada masanya memang hal ini biasa dilakukan, wangsit yang didapat itu mengatas namakan “aku adalah semar” yang dengan bijaksana memberikan solusi atau sumbang saran atas permasalahan yang didapat, akan tetapi wujudnya tidak pernah nampak sehingga sang prabu ingin sekali melihat wujud Semar apa dan bagaimana bentuknya. Sebab wejangan yang diberikan selalu saja terbukti hal ini memperkuat keinginan sang prabu agar Semar maujud dan dapat duduk berdampingan sebagai penasehat Raja.

Akan tetapi hal ini tidak pernah menjadi kenyataan hingga sang prabu mangkat Semar tidak pernah maujud.

Dengan mangkatnya Prabu Syaelendra maka terjadi perebutan tahta kerajaan dengan ditandai timbulnya pemberontakan dimana-mana. Anehnya pada pemberontakan itu Semar dijadikan semboyan untuk menyatakan kesetiaan pada sang Prabu bahwa kendati beliau sudah mangkat mereka tetap akan menjaga keutuhan istana yang kini hanya tinggal petilasan di lereng gunung Dieng tepat di desa Punjul yang kerap ditemukan fosil-fosil dan tembikar yang terbuat dari perunggu

Hari, bulan dan tahun berganti Kerajaan Syaelendra terkubur ditelan alam dan nama Prabu Syaelendra tetap terukir dalam sejarah. Namun yang terjadi pada para ahli waris dan keturunannya semua terbius oleh keserakahan dan ambisi untuk menjadi pimpinan. Karena itulah tumbuh kerajaaan-kerajaan kecil bagai jamur dimusuhi hujan. Tetapi tetap semar dijadikan sebagai Dewa pelindung di tanah jawa yang pada saat itu menganut agama Hindu dan Budha. Meskipun Semar bukanlah Dewa !!.

Dari hasil pemujaan pada tempat-tempat yang dianggap suci maka disitulah mereka mengolah jiwanya untuk mendapatkan kekuatan dalam penyatuan alam sehingga mendapatkan wangsit bagaimana untuk mengarungi perjalanan hidup. Akan tetapi tidak semua mampu menganalisa wangsit tersebut sehingga akhirnya mereka menggunakan ritual yang tidak ada pada wangsit yang mengakibatkan munculnya ilmu-ilmu keturunan di tanah jawa, salah satunya adalah ilmu kebatinan.

Lain halnya bagi mereka yang mampu menganalisa wangsit yang diterima maka mereka dapat mengolah jiwanya sehingga timbul rasa percaya diri sebagai sumber kekuatan yang luar biasa. Dialah cikal bakal yang mampu menghalau musuh sehingga mampu menghalau musuhnya dengan meluluhkan hatinya dan musuh tunduk mengikuti perintah mereka. Mereka terus menganggap Semar sebagai pengayom sedangkan Semar tetap belum maujud namun sugesti yang dirasakan membuat nama Semar mengalir ke rongga tubuh hingga memancarkan suatu charisma.
sumber


satu relief Semar di Candi Sukuh yang merupakan candi era ahir Majapahit.

sedangkan di artikel lain Semar juga dijelaskan sebagai berikut...

ucapan mbah semar setiap kali mau mengawali dialog :

"mbergegeg, ugeg-ugeg, hmel-hmel, sak dulito, langgeng…"

(diam, bergerak/berusaha, makan, walaupun sedikit, abadi)

maksudnya daripada diam (mbergegeg) lebih baik berusaha untuk lepas (ugeg-ugeg) dan mencari makan (hmel-hmel) walaupun hasilnya sedikit (sak ndulit) tapi akan terasa abadi (langgeng).

sebuah pesan agar kita selalu bekerja keras untuk mencari nafkah walaupun hasilnya hanya cukup untuk makan namun kepuasan yg didapat krn berusaha tsb akan abadi.
Punakawan dan syi’ar islam

Semar, nama tokoh ini berasal dari bahasa arab Ismar. Dalam lidah jawa kata Is- biasanya dibaca Se-. Contohnya seperti Istambul menjadi Setambul. Ismar berarti paku. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada atau sebagai advicer dalam mencari kebenaran terhadap segala masalah. Agama adalah pengokoh/pedoman hidup manusia. Semar dengan demikian juga adalah simbolisasi dari agama sebagai prinsip hidup setiap umat beragama.

Batara Semar

MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu.

Yang ada itu sesungguhnya tidak ada.

Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.

Yang bukan dikira iya.

Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.

Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.

Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:

tidak pernah lapar

tidak pernah mengantuk

tidak pernah jatuh cinta

tidak pernah bersedih

tidak pernah merasa capek

tidak pernah menderita sakit

tidak pernah kepanasan

tidak pernah kedinginan

kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia.

Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga.

Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.

Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.

Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya.

Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.

Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas tersamar.

Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada.

Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol, berkulit hitam yang bernama Semarasanta.

Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta.

Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang digambarkan pada seorang tokoh Semar.

SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi.

Semar dan Wahyu

Di dalam tulisan sebelumnya yang berjudul “Batara Semar,” telah dipaparkan bahwa Batara Semar atau Batara Ismaya, yang hidup di alam Sunyaruri, sering turun ke dunia dan manitis di dalam diri Janggan Semarasanta, seorang abdi dari Pertapaan Saptaarga. Mengingat bahwa bersatunya antara Batara Ismaya dan Janggan Semarasanta yang kemudian populer dengan nama Semar merupakan penyelenggaraan Illahi, maka munculnya tokoh Semar diterjemahkan sebagai kehadiran Sang Illahi dalam kehidupan nyata dengan cara yang tersamar, penuh misteri.

Dari bentuknya saja, tokoh ini tidak mudah diterka. Wajahnya adalah wajah laki-laki. Namun badannya serba bulat, payudara montok, seperti layaknya wanita. Rambut putih dan kerut wajahnya menunjukan bahwa ia telah berusia lanjut, namun rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak. Bibirnya berkulum senyum, namun mata selalu mengeluarkan air mata (ndrejes). Ia menggunakan kain sarung bermotif kawung, memakai sabuk tampar, seperti layaknya pakaian yang digunakan oleh kebanyakan abdi. Namun bukankah ia adalah Batara Ismaya atau Batara Semar, seorang Dewa anak Sang Hyang Wisesa, pencipta alam semesta.

Dengan penggambaran bentuk yang demikian, dimaksudkan bahwa Semar selain sosok yang sarat misteri, ia juga merupakan simbol kesempurnaan hidup. Di dalam Semar tersimpan karakter wanita, karakter laki-laki, karakter anak-anak, karakter orang dewasa atau orang tua, ekspresi gembira dan ekspresi sedih bercampur menjadi satu. Kesempurnaan tokoh Semar semakin lengkap, ditambah dengan jimat Mustika Manik Astagina pemberian Sang Hyang Wasesa, yang disimpan di kuncungnya. Jimat tersebut mempunyai delapan daya yaitu; terhindar dari lapar, ngantuk, asmara, sedih, capek, sakit, panas dan dingin. Delapan macam kasiat Mustika Manik Astagina tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa, walaupun Semar hidup di alam kodrat, ia berada di atas kodrat. Ia adalah simbol misteri kehidupan, dan sekaligus kehidupan itu sendiri.

Jika dipahami bahwa hidup merupakan anugerah dari Sang Maha Hidup, maka Semar merupakan anugerah Sang Maha Hidup yang hidup dalam kehidupan nyata. Tokoh yang diikuti Semar adalah gambaran riil, bahwa sang tokoh tersebut senantiasa menjaga, mencintai dan menghidupi hidup itu sendiri, hidup yang berasal dari Sang Maha Hidup. Jika hidup itu dijaga, dipelihara dan dicintai maka hipup tersebut akan berkembang mencapai puncak dan menyatu kepada Sang Sumber Hidup, manunggaling kawula lan Gusti. Pada upaya bersatunya antara kawula dan Gusti inilah, Semar menjadi penting. Karena berdasarkan makna yang disimbolkan dan terkandung dalam tokoh Semar, maka hanya melalui Semar, bersama Semar dan di dalam Semar, orang akan mampu mengembangkan hidupnya hingga mencapai kesempurnaan dan menyatu dengan Tuhannya.

Selain sebagai simbol sebuah proses kehidupan yang akhirnya dapat membawa kehidupan seseorang kembali dan bersatu kepada Sang Sumber Hidup, Semar menjadi tanda sebuah rahmat Illahi (wahyu) kepada titahnya, Ini disimbolkan dengan kepanjangan nama dari Semar, yaitu Badranaya. Badra artinya Rembulan, atau keberuntungan yang baik sekali. Sedangkan Naya adalah perilaku kebijaksanaan. Semar Badranaya mengandung makna, di dalam perilaku kebijaksanaan, tersimpan sebuah keberuntungan yang baik sekali, bagai orang kejatuhan rembulan atau mendapatkan wahyu.

Dalam lakon wayang, yang bercerita tentang Wahyu, tokoh Semar Badranaya menjadi rebutan para raja, karena dapat dipastikan, bahwa dengan memiliki Semar Badranaya maka wahyu akan berada dipihaknya.

Menjadi menarik bahwa ada dua sudut pandang yang berbeda, ketika para satria raja maupun pendeta memperebutkan Semar Badranaya dalam usahanya mendapatkan wahyu. Sudut pandang pertama, mendudukkan Semar Badranaya sebagai sarana phisik untuk sebuah target. Mereka meyakini bahwa dengan memboyong Semar, wahyu akan mengikutnya sehingga dengan sendirinya sang wahyu didapatkan. Sudut pandang ini kebanyakan dilakukan oleh kelompok Kurawa atau tokoh-tokoh dari sabrang, atau juga tokoh lain yang hanya menginkan jalan pintas, mencari enaknya sendiri. Yang penting mendapatkan wahyu, tanpa harus menjalani laku yang rumit dan berat.

Sudut pandang ke dua adalah mereka yang mendudukan Semar Badranaya sebagai sarana batin untuk sebuah proses. Konsekwensinya bahwa mereka mau membuka hati agar Semar Badranaya masuk, tinggal dan menyertai kehidupannya, sehingga dapat berproses bersama meraih Wahyu. Penganut pandangan ini adalah kelompok dari keturunan Saptaarga. Dari ke dua sudut pandang itulah dibangun konflik, dalam usahanya memperebutkan turunnya wahyu. Dan tentu saja berakhir dengan kemenangan kelompok Saptaarga.

Mengapa wahyu selalu jatuh kepada keturunan Saptaarga? Karena keturunan Saptaarga selalu mengajarkan perilaku kebijaksannan, semenjak Resi Manumanasa hingga sampai Harjuna. Di kalangan Saptaarga ada warisan tradisi sepiritual yang kuat dan konsisten dalam hidupnya. Tradisi tersebut antara lain; sikap rendah hati, suka menolong sesama, tidak serakah, melakukan tapa, mengurangi makan dan tidur dan laku lainnya. Karena tradisi-tradisi itulah, maka keturunan Saptaarga kuat diemong oleh Semar Badranaya.

Masuknya Semar Badranaya dalam setiap kehidupan, menggambarkan masuknya Sang Penyelenggara Illahi di dalam hidup itu sendiri. Maka sudah sepantasnya, anugerah Ilahi yang berujud wahyu akan bersemayam di dalamnya. Karena apa yang tersembunyi di balik tokoh Semar adalah Wahyu. Wahyu yang disembunyikan bagi orang tamak dan dibuka bagi orang yang hatinya merunduk dan melakukan perilaku kebijaksanaan. Seperti yang dilakukan keturunan Saptaarga.

Perwujudan Semar dalam Wayang Golek Sunda:


Bocah Bajang dan Semar

Bocah Bajang nggiring angin

anawu banyu segara

ngon-ingone kebo dhungkul

sa sisih sapi gumarang

Teks empat baris yang menggambarkan Bocah Bajang (anak yang tidak bisa besar atau cacat) tersebut merupakan salah satu Jineman atau lagu yang selalu dikumandangkan pada pegelaran Wayang Purwa, khusus untuk mengiringi munculnya tokoh Semar pada waktu goro-goro. Hal tersebut tidak secara kebetulan, tetapi merupakan sebuah ekspresi kreatif untuk menyampaikan sesuatu makna yang dianggap penting, melalui lagu Bocah Bajang dan wayang Semar.

Semar dan Dewa Ruci, keduanya merupakan gambaran Kesempurnaan yang tinggal dan hidup dalam manusia yang lemah dan cacat.

Tokoh Semar mempunyai sifat pribadi yang mendua. Ia adalah dewa bernama Batara Ismaya, yang manitis (tinggal dan hidup) pada seorang manusia cebol, berkulit hitam, bernama Ki Semarasanta. Bentuk wayangnya pun dibuat mendua: bagian kepala adalah laki-laki, tetapi payudara dan pantatnya adalah perempuan. Rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak, tetapi sudah memutih seperti orang tua. Bibirnya tersenyum menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi matanya selalu basah seperti sedang menangis sedih. Oleh karena serba misteri, tokoh Semar dapat dianggap dewa, dapat pula dianggap manusia. Ya laki-laki, ya perempuan, ya orang tua dan sekaligus kanak-kanak, sedang bersedih tetapi dalam waktu yang sama juga sedang bergembira. Maka tokoh ini diberi nama Semar asal kata samar, yang berarti tidak jelas.

Sebuah dugaan, tokoh Semar dalam Pewayangan merupakan perwujudan dari kerinduan manusia dalam pengembaraannya menyelami yang Ilahi. Dikarenakan Hyang Maha Sempurna itu tidak kelihatan, tidak bisa diraba, jauh tak terbatas, dekat tidak bersentuhan, maka sulitlah untuk menggambarkannya. Oleh karena kekurangannya, kelemahannya dan cacat-cacatnya, manusia hanya dapat menggambarkan ketidakmampuannya menggambarkan yang Ilahi. Maka yang muncul kemudian adalah bentuk yang tidak sempurna. Lahirnya karya yang disengaja tidak sempurnya seperti wayang Ki Semarasanta atau Semar, merupakan sebuah konsep kerendahan hati, penyadaran diri dan keterbukaan pribadi akan kelemahannya, kekurangannya, cacat-cacatnya. Karena dengan sikap tersebut manusia diyakini mampu nglenggahake (menghadirkan dan mendudukkan) yang Maha Sempurna.

Selain tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cebol berkulit hitam yang dimaksudkan untuk nglenggahake kesempurnaan yaitu Bathara Ismaya, di pewayangan juga ada tokoh lain yang dibuat bajang, kerdil, untuk tujuan yang sama yaitu: Sang Hyang Pada Wenang dan Dewa Ruci.

Untuk menandaskan munculnya tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cacat yang berpribadi mendua, diiringi dengan lagu Bocah Bajang sedang membawa binatang piaraan yang mempunyai sifat mendua pula. Yaitu Seekor Kerbau, binatang yang bodoh dan tumpul otaknya, menggambarkan kelemahan manusia. Dan seekor Sapi Gumarang, binatang yang cerdas dan mempunyai tanduk sangat tajam, menggambarkan ketajaman manusia akan misteri Ilahi.

Dari paparan tersebut tokoh Semar yang diekspresikan ke dalam bentuk wayang dan tokoh Bocah Bajang yang di ekspresikan ke dalam lagu jineman, mempunyai inti makna yang sama. Ke duanya memberikan gambaran bahwa dalam diri manusia yang serba kekurangan, lemah dan cacat bertahtalah Yang Maha Sempurna.

Dalam usahanya mengharmoniskan antara sifat yang serba kurang, lemah dan cacat di satu sisi dan sifat yang serba sempurna di sisi yang lain, manusia membutuhkan perjuangan panjang, sepanjang umur manusia itu sendiri. Seperti Bocah Bajang nggiring angin dan nawu segara.

Semar, Gareng, Petruk, Bagong

Dalam perkembangan selanjutnya, hadirnya Semar sebagai pamomong keturunan Saptaarga tidak sendirian. Ia ditemani oleh tiga anaknya, yaitu; Gareng, Petruk, Bagong. Ke empat abdi tersebut dinamakan Panakawan. Dapat disaksikan, hampir pada setiap pegelaran wayang kulit purwa, akan muncul seorang ksatria keturunan Saptaarga diikuti oleh Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Cerita apa pun yang dipagelarkan, ke lima tokoh ini menduduki posisi penting. Kisah Mereka diawali mulai dari sebuah pertapaan Saptaarga atau pertapaan lainnya. Setelah mendapat berbagai macam ilmu dan nasihat-nasihat dari Sang Begawan, mereka turun gunung untuk mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, dengan melakukan tapa ngrame. (menolong tanpa pamrih).

Tidak sedikit tulisan dan pendapat yang menguraikan tokoh panakawan. Diantaranya adalah bahwa tokoh panakawan adalah Dewa atau penguasa semesta alam yang ngejawantah menjadi manusia miskin untuk bekerjasama dan membantu usaha manusia agar dapat mencapai cita-cita luhur. Ada juga yang berpendapat bahwa kemunculan tokoh panakawan ini bersamaan dengan suatu gerakan kalangan bawah yang ingin menunjukan kekuatan rakyat yang sesunguhnya. Raja dan para bangsawan (ksatria) yang berkuasa, tidak akan pernah berhasil mengantar negerinya kearah kemakmuran dan kesejahteraan jika tidak didukung dan di emong oleh rakyat. Seperti yang digambarkan dalam cerita wayang bahwa yang berhasil dan menang dalam sebuah pergulatan mendapatkan ‘wahyu’ adalah tokoh yang senantiasa diikuti oleh panakawan.
sumber

dalam pencarian gw juga "nemu" suatu rajah bertuliskan Aksara Jawa dengan bentuk Semar:

Gambar kaligrafi jawa tersebut bermakna :
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma”, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.


masih dari artikel yang sama juga dijelaskan tentang sejarah "kelahiran" Semar:

Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
. sumber

yang bikin gw kagum sama tokoh semar ternyata gak cuman dari segi penggambaran bentuk badannya yang penuh makna filosofis tapi juga kain atau jarik yang dipakaipun penuh makna. Adalah kain Parangkusumorodjo atau sama dengan memayuhayuning bawono yang berarti perlambang keadilan dan kebenaran di muka bumi (lihat post gw: Batik Tulis Keraton, A-Z!!!).

Dari sini baru tau gw kalo ternyata Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Islam di tanah Jawa.

Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual. Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.

Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa. sumber

Semar adalah tokoh utama panakawan (oleh: Ki Ageng Mangir.)
arti dari panakawan adalah pana yang berarti bijaksana dan kawan berarti teman jadi artinya adalah teman yang bijaksana - bersama-sama ketiga anaknya yang bernama Gareng, Petruk, dan Bagong, secara umum dalam pewayangan digambarkan sebagai berikut :

1. Semar selalu muncul pada tengah malam pada pagelaran "wayang purwo / kulit" semalam suntuk yaitu setelah episode yang dinamakan "goro-goro" yang dalam "goro-goro" diceritakan terjadi banyaknya kekacauan dimuka bumi ini yang secara simbolik kemunculan Semar dan punokawan meredakan kekacauan tersebut.

2. Pada saat pemunculannya Semar sang Dalang akan bercerita bahwa: "Semar punika saking basa "samar", mapan pranyoto Kyai Lurah Semar punika wujudira samar. Yen den wastani jalu wandanira kadi wanita.Yen sinebat estri, dadapuranira teka pria. Pramila katah ingkang klentu mastani. Yen ta wonten ingkang hatanya menggahing sasipatanira hirung sunti mrakateni, mripat mrembes mrakateni, lan sak panunggalnipun sedaya sarwa mrakateni" yang terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia adalah: "Semar berasal dari kata samar. Memang sesungguhnya wujud dari Kyai Lurah Semar juga samar. Kalau dikatakan laki-laki wajahnya mirip wanita. Kalau disebut wanita perawakannya seperti laki-laki. Oleh karena itu banyak orang keliru menilai. Jika ada yang mencoba memerinci anggota badannya akan melihat hidungnya mancung seperti wanita yang mempesonakan, matanya yang basah juga mempesonakan, dan yang lain-lain-nya juga serba menarik perhatian".

3. Semar dan panakawan lainnya bukan berasal dari epic Ramayana dan Mahabharata sehingga banyak pakar yang menyimpulkan bahwa tokoh tersebut asli Jawa / asli Indonesia yang sudah ada sebelum agama Hindu dan Budha datang ke Indonesia.

4. Diceritakan asal usul Semar adalah dari telor yang :
a. Kulitnya menjadi Togog yang menjadi simbol hidup laksana kulit tanpa isi yang mementingkan duniawi semata oleh karena itu ia mengabdi pada raksasa sebagai simbul angkaramurka.
b. Putihnya menjadi Semar yang menjadi simbol hidup yang penuh kesucian yang mementingkan isi dari pada kulitnya. Ia selalu memihak kepada kebenaran dan keadilan dan meluruskan segala bentuk penyelewengan oleh karena itu ia mengabdi kepada raja dan ksatria utama.
c. Kuningnya menjadi Manikmaya yang mencerminkan kekuasaan karena itu ia dinobatkan menjadi rajanya dewa di Kahyangan "Junggring Salaka" sebagai Bhatara Guru.

Biarpun Semar itu manusia atau rakyat biasa yang menjadi panakawan para raja dan ksatria, tapi dia memiliki kesaktian yang melebihi Bhatara Guru yang rajanya para Dewa. Semar selalu bisa mengatasi kesaktian dari Bhatara Guru apabila ingin mengganggu Pendawa Lima yang dalam asuhannya.

Banyak arti simbolik dalam masalah ini yang penulis percayai mungkin mendekati kebenaran adalah :

Bhatara Guru dalam agama Hindu adalah Dewa Shiva yang dipuja oleh pemeluk agama Hindu, sedangkan Semar adalah tokoh asli Jawa / asli Indonesia yang mungkin juga dipuja saat sebelum kedatangan agama Hindu. Secara simbolik bisa diartikan bahwa existensi dari budaya atau nilai2 luhur dari Jawa kuno selalu akan bisa mengatasi dari pengaruh Hindu dan secara simbolik selalu memenangkan tokoh Semar terhadap tokoh2 dewa Hindu. Dan hanya dengan menerima tokoh Semar agama Hindu bisa berkembang di Indonesia.

Hal ini sekali lagi dibuktikan dengan apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga yang menggunakan senjata Puntadewa jamus "Kalimasada" sebagai transisi dari Hindu menjadi Islam yaitu dengan menimbulkan kisah hutan Ketangga yang mengisahkan pertemuannya dengan Puntadewa dan meng-Islamkan dengan menjabarkan jamus Kalimasada sebagai Kalimat Sahadat. Dan peng-Islaman masayarakat Jawa tidak melepas sama sekali tokoh yang sudah ada dari zaman sebelum Hindu dari sekarang seperti Semar yang perilakunya dijadikan teladan ataupun panutan masyarakat Jawa. Dan disadari oleh Sunan Kalijaga bahwa Islam hanya akan bisa diterima oleh masyarakat Jawa apabila kesenangan orang Jawa akan "wayang purwo / kulit" tidak diganggu yang sebetulnya kesenangan orang Jawa kepada "wayang kulit / purwo" bukan sekedar sebagai tontonon tapi suatu upaya pelestarian dari petuah atau etika atau budaya Jawa yang berumur sangat tua yang masih hidup sampai sekarang oleh karena itu wajah Islam di Jawa atau mungkin juga di Indonesia mempunyai ciri budaya yang berbeda dengan Islam di Saudi Arabia tanpa mengurangi makna Islam yang mendasar.

5. Dengan berjalannya waktu tokoh Semar dan panakawan diterjemahkan sebagai simbol kesederhanaan dari rakyat jelata, dikarenakan kehidupannya sebagai Lurah / Kepala Desa yaitu suatu jabatan kepemimpinan yang paling dasar/bawah dalam sistim pemerintahan yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat pedesaan pada masa lalu, tokoh Semar selalu berada diantara rakyat kecil dan kesederhanaannya telah membawa kepada sifat kearifan dan kesucian pandangan yang bisa memberikan pandangan yang lebih murni tanpa bias terhadap suatu permasalahan

sehingga bisa menangkap kebenaran seperti apa adanya. Oleh karena itu diceritakan dalam "wayang purwo/kulit" Semar selalu bisa mengatasi permasalahan yang tidak mampu diatasi oleh asuhannya Pendawa Lima ataupun para raja dan ksatria lainnya.

Contoh-contoh diatas adalah memberikan suatu gambaran bahwa tokoh Semar merupakan tokoh yang paling banyak mendapat sorotan interpretasi simbolik dikarenakan keunikan, kesamaran dan

ketidakjelasannya dan yang lebih lagi karena sebagai tokoh yang asli Jawa / asli Indonesia yang oleh cendikiawan ataupun budayawan Jawa dimasa lalu disisipkan dalam epic Ramayana dan Mahabharata dalam cerita "wayang purwo / kulit" tanpa harus merusak kisah kepahlawan yang ingin ditonjolkan bahkan malahan memperkaya nuansa etika yang lebih mendalam. Contoh-contoh diatas belum lagi membahas intepretasi tokoh Semar yang bersifat mistik yang penulis tidak akan bahas disini.

Semar dengan senjata ampuhnya "Kentut"

Diceritakan dalam pewayangan bahwa Semar mempunyai senjata yang sangat ampuh yaitu berupa "Kentut" dan hal ini yang penulis ingin bahas kandungan simbolik yang semata-mata adalah menurut keterbatasan pandangan penulis sendiri. Sebagai suatu kisah kepahlawanan "wayang purwo/kulit" tidak lepas dari kisah kesaktian senjata dari para pahlawannya untuk bisa memenangkan peperangan, seperti Arjuna dengan senjata panahnya Pasopati, Bima dengan kuku Pancanaka, Sri Kresna dengan Cakra dan sebagainya. Bahkan dalam pewayangan juga dimasukkan unsur keris yang nyata-nyata bukan senjata dari Hindia tapi asli dari Jawa. Tradisi memuja senjata ini berlanjut pada budaya/sejarah Jawa dengan pada masa-masa kejayaan kerajaan Hindu dan Islam seperti Ken Arok dengan keris Empu Gandring, Raja Balambangan dengan gada Besi Kuning, Panembahan Senopati dengan tombak Kyai Plered, dsb. Senjata sebagai alat memenangkan peperangan akan tetap penting artinya bahkan sampai pada masa kekinian seperti bagaimana Sekutu menggunakan senjata nuklir untuk memenangkan peperangan melawan Jepang. Juga dengan terjadinya perlombaan kecanggihan persenjataan pada masa perang dingin antara Rusia dan Amerika pada masa beberapa tahun yang lalu. Apabila senjata itu kita terjemahkan sebagai tools atau peralatan untuk memenangkan suatu peperangan ataupun persaingan, pengembangan peralatan ini tidak hanya terbatas kepada sesuatu yang bersifat phisik peralatan peperangan militer tapi juga menyangkut peralatan atau sumber daya (resources) untuk memenangkan persaingan dibidang bisnis dan politik. Sedangkan peralatannya atau tools bisa bervariasi dari penguasaan informasi, sistim, strategi, prosedur/peraturan, sumber daya manusia yang berkwalitas dsb.

Yang memerlukan kajian lebih lanjut kenapa Semar mempunyai senjata "Kentut" dan bukan senjata yang bersifat phisik seperti panah, pedang, tombak ataupun sejenisnya.

Beberapa sifat senjata "Kentut" nya Semar:


1. Kentut berasal dari dalam diri Semar sendiri, jadi senjata ini sifatnya adalah kekuatan yang muncul dari pribadi Semar bukan alat yang diciptakan atau dibuat.
2. Semar menggunakan senjatanya bukan untuk mematikan tapi lebih untuk menyadarkan. Dalam beberapa lakon/cerita pewayangan Semar menggunakan senjata "Kentut" nya melawan resi/raja/ksatria yang tidak bisa dikalahkan oleh Pandawa Lima yang akhirnya "badar" atau sadar
3. kembali pada perwujudannya yang semula, yang biasanya adalah Bhatara Guru, Bhetari Durga dsb.
4. Semar akan menggunakan senjata "Kentut" nya apabila para raja / ksatria asuhannya tidak bisa mengatasi masalah dengan cara yang konvensional / menggunakan senjata biasa.

Sebagai makna simbolik "Kentut" itu sendiri mempunyai sifat-sifat:
1. Selalu mempunyai nuansa bersuara dan berbau.
2. Biasanya baunya busuk atau tidak enak.
3. Jadi "Kentut" itu juga bisa berati suara yang berbau atau bernuansa kurang enak didengar maupun dirasakan.
Jadi kalau kita kombinasikan dengan dengan simbolik Semar sebagai suara "rakyat" kecil yang bercirikan kesederhanaan yang membawa kepada sifat kearifan dan kesucian pandangan yang bisa memberikan pandangan yang lebih murni tanpa bias terhadap suatu permasalahan sehingga
bisa menangkap kebenaran seperti apa adanya.
Maka senjata "Kentut" nya Semar adalah bisa punya arti simbolik suara "rakyat" yang menyuarakan kebenaran yang sifatnya memberikan kesadaran kepada para pimpinannya agar kembali pada jalan yang benar sehingga suaranya bagi sang pimpinan adalah suara-suara yang tajam dan tidak enak didengar dan kalau dirasakan sangat bau busuk karena keterus terangannya melaksanakan kritik yang cenderung untuk menyakitkan kalau dirasakan bagi sang pemimpin. Dan kenyataannya apabila rakyat sudah mengutarakan isi hatinya, apalagi kalau menyampaikan kemarahannya akan lebih dahsyat seperti laiknya "Kentut" Kyai Lurah Semar yang mau tidak mau pemimpin harus sadar untuk memperbaiki diri (atau kepemimpinannya sebetulnya tidak diakui oleh mayoritas rakyat dan rakyat mengakuinya semata-mata berdasarkan rasa takut).
Dalam kondisi kekinian, suara rakyat yang murni tidak terdengar dalam tata masyarakat Indonesai dikarenakan ada hambatan2 dalam penyampaiannya atau tidak ada kebebasan dalam menyuarakan pendapatnya/keinginannya (termasuk didalamya kemandulan media masa, lembaga perwakilan rakyat untuk dijadikan sarana rakyat menyatakan pendapatnya yang mungkin saja tidak sejalan dengan pendapat yang sedang berkuasa).
Sebagai akibatnya para pimpinan negara hanya mendengarkan suara-suara yang merdu dan enak didengar saja yang mungkin jauh dari kenyataan yang ada. Oleh karena itu "rakyat" mencari jalannya sendiri untuk menyuarakan hati nuraninya.

Kalau kita membaca Internet - seperti Indonesia-L - barangkali ini lambang "Kentut" nya Semar dengan segala suara yang tidak enak didengar ditelinga oleh para pimpinan Negara kita (kalau mereka baca Internet - mengingat accesnya yang masih terbatas di Indonesia) yang mungkin lebih mendekati realitas dan suara rakyat yang sebenarnya yang menghendaki keterbukaan dan kearifan para pimpinan Negara untuk menerima saran dan kritik agar melakukan perbaikan dan "badar" atau sadar kembali untuk menuju cita-cita masyarakat Indonesia yang adil makmur bagi semua rakyat (bukan buat sebahagian kecil rakyat yang dengan kedekatannya dengan kekuasaan mendapat kesempatan yang lebih dari yang lain)


Kesimpulan

1. Senjata "Kentut" nya Semar adalah secara simbolik bisa diartikan senjata pamungkasnya "rakyat" untuk menyadarkan pemimpinnya agar kembali kepada jalan yang benar yaitu etika berbudi luhur yang harus dipegang teguh.

2. Mencapai tujuan yang benar haruslah dengan cara yang benar, adalah sangat disayangkan apabila kita dipimpin oleh pimpinan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (tanpa maksud untuk mengurangi nilai keberhasilan secara phisik yang telah dicapai selama ini).

3. Nilai-nilai luhur etika Jawa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya selalu mengajarkan mencapai tujuan yang baik menuju Indonesia yang adil dan makmur harus dengan sekaligus mempraktekkan etika budi luhur agar terjadi Negara ideal yang "panjang-punjung", panjang berarti menjadi panutan negara lain, punjung berarti mempunyai kewibawaan yang tinggi. sumber


Referensi:
1. Ir. Sri Mulyono Djojosupadmo , Apa dan Siapa Semar, 1975,P.T. Gunung Agung
http://bharatayudha.multiply.com/

Detail Proses Pembuatan Kain Batik

Nganji

Proses Nganji - from Handbook of Indonesian Batik

Sebelum dicap, biasanya mori dicuci terlebih dahulu dengan air hingga kanji aslinya hilang dan bersih, kemudian di kanji lagi. Motif batik harus dilapisi dengan kanji dengan ketebalan tertentu, jika terlalu tebal nantinya malam kurang baik melekatnya dan jika terlalu tipis maka akibatnya malam akan “mblobor” yang nantinya akan sulit dihilangkan.
Mori dengan kualitas tertinggi [Primisima] tidak perlu dikanji lagi, karena ketebalan kanjinya sudah memenuhi syarat.

Ngemplong

Proses Ngemplong - from Handbook of Indonesian Batik

Biasanya hanya mori yang halus yang perlu dikemplong terlebih dahulu sebelum dibatik. Mori biru untuk batik cap biasanya bisa langsung dikerjakan tanpa dilakukan pekerjaan persiapan.
Tujuan dari ngemplong ialah agar mori menjadi licin dan lemas. Untuk maksud ini mori ditaruh diatas sebilah kayu dan dipukul-pukul secara teratur oleh pemukul kayu pula.
Mori yang dikemplong akan lebih mudah dibatik sehingga hasilnya lebih baik.

Nglowong, Pelekatan malam [lilin] yang pertama.

Proses Nglowong dengan cap - [Vie]


alat cap untuk membuat batik


Proses Nglowong dengan canting - [Vie]

Selesai dikemplong mori sudah siap untuk dikerjakan. Teknik pembikinan batik terdiri dari pekerjaan utama, dimulai dari pekerjaan utama, dimulai dengan nglowong ialah mengecap atau membatik motif-motifnya diatas mori dengan menggunakan canting
Nglowong pada sebelah kain disebut juga ngengreng dan setelah selesai dilanjutkan dengan nerusi pada sebelah lainnya

Nembok, pelekatan malam kedua

Proses Nembok - [Vie]

Sebelum dicelup kedalam zat pewarna, bagian yang dikehendaki tetap berwarna putih harus ditutup dengan malam. Lapisan malam ini ibaratnya tembok untuk menahan zat perwarna agar jangan merembes kebagian yang tertutup malam.
Oleh karena itu pekerjaan ini disebut menembok, jika ada perembesan karena tembokannya kurang kuat maka bagian yang seharusnya putih akan tampak jalur2 berwarna yang akan mengurangi keindahan batik tersebut. Itulah sebabnya malam temboknya harus kuat dan ulet, lain dengan malam klowong yang justru tidak boleh terlalu ulet agar mudah dikerok.

Medel, Pencelupan pertama dalam zat warna
Tujuan Medel adalah memberi warna biru tua sebagai warna dasar kain. Jaman dulu pekerjaan ini memakan waktu berhari-hari karena menggunakan bahan pewarna indigo [bahasa jawanya : tom]
Zat pewarna ini sangat lambat menyerap dalam kain mori sehingga harus dilakukan berulang kali, kini dengan bahan warna modern bisa dilakukan dengan cepat.

Ngerok, Menghilangkan malam klowong
Bagian yang akan di soga agar berwarna coklat, dikerok dengan Cawuk [semacam pisau tumpul dibuat dari seng] untuk menghilangkan malam nya.

Mbironi, Penggunaan malam ke tiga
Pekerjaan berikutnya adalam mBironi, yang terdiri dari penutupan dengan malam bagian-bagian kain yang tetap diharapkan berwarna biru, sedangkan bagian yang akan di soga tetap terbuka. Pekerjaan mBironi ini dikerjakan didua sisi kain.

Menyoga, Pencelupan kedua

Proses Me"Nyoga" - [Vie]

Menyoga merupakan proses yang banyak memakan waktu, karena mencelup kedalam soga. Jika menggunakan soga alam, tidak cukup hanya satu dua kali saja, harus berulang.
Tiap kali pencelupan harus dikeringkan diudara terbuka. Dengan menggunakan soga sintetis maka proses ini bisa diperpendek hanya setengah jam saja. Istilah menyoga diambil dari kata pohon tertentu yang kulit pohonnya menghasilkan warna soga [coklat] bila direndam di air.

Nglorod, Menghilangkan malam

Proses Nglorod - [Vie]

Setelah mendapat warna yang dikehendaki, maka kain harus mengalami proses pengerjaan lagi yaitu malam yang masih ketinggalan di mori harus dihilangkan, caranya dengan dimasukkan kedalam air mendidih yang disebut Nglorod.

sumber

Friday, January 22, 2010

Batik Tulis Keraton, A-Z!!!

FILOSOFI BATIK

Batik adalah teknik perintang warna dengan menggunakan lilin (malam), yang telah ada sejak pertama kali diperkenalkan nama batex oleh Chastelein, seorang anggota Raad van Indie (dewan Hindia) pada tahun 1705. Pada masa itu penanaman dan penenunan kapas sebagian besar berpusat di pulau Jawa. Penduduk biasa mengenakan kain yang dilukis dengan cara mereka sendiri. Tetapi kaum bangsawan Jawa pada masa itu selalu mengenakan kain dari Gujarat. "Seharusnya mereka selalu mengenakan kain batik," gerutu Chastelein. Akhirnya teknik itu berkembang dan dikenakan oleh hampir semua kalangan, sampai dengan sekarang.

Batik, sebagaimana namanya mbatik adalah ngemban titik. Secara filosofis berarti : padat karya. Karena membatik membutukan banyak tenaga kerja. Dari mulai mendesain, menggambar motif, membuka-tutup kain dengan malam, mewarnai, hingga memasarkan batik itu sendiri. Mbatik juga bisa berarti mbabate teko sitik. Membatik membutuhkan kesabaran luar biasa, mengingat membatik bersumber dari kata hati.

Batik pada mulanya menjadi bagian dari craftmanship, seiring penetrasi teknologi produksi dan pewarnaan, kental sekali nuansa industrinya. Kita hanya mengenal batik tulis (handdrawn) dan teknik yang ditinggalkan sejak abad 19, batik cap (handstamp). Paling mutakhir inovasi di Pekalongan adalah membatik malam dengan screen yang biasa dipakai dalam teknik sablon/printing.

Batik dan masyarakat Pekalongan tidak bisa dipisahkan, karena mereka hidup dan menghidupi batik. Lebih dari itu batik adalah bagian dari masa lalu, masa kini dan masa depan masyarakat pesisir utara pulau Jawa itu.

from : Festival Batik Pekalongan

PERLENGKAPAN BATIK

Kain batik tulis memang mahal harganya. Butuh ketelitian dan kerapihan dari pembuatnya.


Inilah kain mori, kain putih yang digambar dengan aneka motif sebelum dibatik dengan malam yang dilumerkan di atas wajan dan digambar dengan menggunakan canting. Nah kain mori yang sudah bermotif ini dijual oleh seorang pedagang di Pasar Klewer. Harganya Rp. 40.000,00.


Inilah canting yang dibeli, sebenarnya ada berbagai ukuran. Sebagaimana halnya pensil, ada ukuran 2B, 3B, 4B, dst nah kalau yang ini ukurannya 1, 2, 3, 4, dst sampai dengan 6. Harganya Rp. 2.500,00 per canting.


Mata canting ini dibuat berbagai ukuran, sesuai besar kecilnya garis yang akan diblok pada motif yang tersedia. Gagang canting adalah kayu yang diraut disesuaikan dengan ukuran canting. Digunakan sebagai pegangan canting, Ukurannya relatif sama.


Ini gambar etalase wajan yang dijual oleh pedagang di dekat beteng Keraton. Harganya Rp. 7000,00 per buah.


Ini gambar etalase kompor yang dijual oleh pedagang di dekat beteng Keraton. Harganya Rp. 7000,00 per buah.


Kirakira seperti ini perangkatnya yang diperlukan.


Nah ini adalah Jarik dengan motif Sidoluhur yang sudah jadi. Sayang kain yang ini babarannya (finishing pembuatan kain) tidak terlalu bagus. Jadina warna agak pucat gitu.

Seni Batik Tradisional dikenal sejak beberapa abad yang lalu di tanah Jawa. Bila kita menelusuri perjalan perkembangan batik di tanah Jawa tidak akan lepas dari perkembangan seni batik di Jawa Tengah. Batik Jogja merupakan bagian dari perkembangan sejarah batik di Jawa Tengah yang telah mengalami perpaduan beberapa corak dari daerah lain.

Perjalanan “Batik Yogya” tidak bisa lepas dari perjanjian Giyanti 1755. Begitu Mataram terbelah dua, dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri, busana Mataram diangkut dari Surakarta ke Ngayogyakarta maka Sri Susuhunan Pakubuwono II merancang busana baru dan pakaian adat Kraton Surakarta berbeda dengan busana Yogya.

Di desa Giyanti, perundingan itu berlangsung. Yang hasilnya antara lain , Daerah atau Wilayah Mataram dibagi dua, satu bagian dibawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan PB II di Surakarta Hadiningrat , sebagian lagi dibawah kekuasaan Kanjeng Pangeran Mangkubumi yang setelah dinobatkan sebagai raja bergelar Ngersa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Ngabdul Rachman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang jumeneng kaping I , yang kemudian kratonnya dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Semua pusaka dan benda-benda keraton juga dibagi dua. Busana Mataraman dibawa ke Yogyakarta , karena Kangjeng Pangeran Mangkubumi yang berkehendak melestarikannya. Oleh karena itu Surakarta dibawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan PB III merancang tata busana baru dan berhasil membuat Busana Adat Keraton Surakarta seperti yang kita lihat sampai sekarang ini.

Ciri khas batik gaya Yogyakarta , ada dua macam latar atau warna dasar kain. Putih dan Hitam. Sementara warna batik bisa putih (warna kain mori) , biru tua kehitaman dan coklat soga. Sered atau pinggiran kain, putih, diusahakan tidak sampai pecah sehingga kemasukan soga, baik kain berlatar hitam maupun putih. Ragam hiasnya pertama Geometris : garis miring lerek atau lereng , garis silang atau ceplok dan kawung , serta anyaman dan limaran.Ragam hias yang bersifat kedua non-geometris semen , lung- lungan dan boketan.Ragam hias yang bersifat simbolis erat hubungannya dengan falsafah Hindu – Jawa ( Ny.Nian S Jumena ) antara lain :

Sawat Melambangkan mahkota atau penguasa tinggi , Meru melambangkan gunung atau tanah ( bumi ) , Naga melambangkan air , Burung melambangkan angin atau dunia atas , Lidah api melambangkan nyala atau geni.

Sejak pertama sudah ada kain larangan. Setiap Sultan yang bertahta berhak membuat peraturan baru atau larangan-larangan.
Terakhir, Sri Paduka Sultan HB VIII membuat peraturan baru ( revisi ) berjudul Pranatan dalem bab namanipun peangangge keprabon ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dimuat dalam Rijksblad van Djokjakarta No 19. th 1927, Yang dimaksud pangangge keprabon ( busana keprabon ) adalah : kuluk ( wangkidan ), dodot / kampuh serta bebet prajuritan, bebet nyamping ( kain panjang ) , celana sarta glisire ( celana cindhe , beludru , sutra , katun dan gelisirnya ), payung atau songsong.

Motif batik larangan : Parang rusak ( parang rusak barong , parang rusak gendreh < 8 cm , parang rusak klithik < 4 cm), semen ageng sawat grudha ( gurdha ) , semen ageng sawat lar , udan riris , rujak senthe , parang-parangan yang bukan parang rusak, semua ini besar-kecilnya sesuai menurut ukuran parang rusak.

Semua putra dalem diperbolehkan mengenakan kain-kain tersebut di atas. Busana batik untuk Permaisuri diperbolehkan sama dengan raja. Garwa ampeyan dalem diizinkan memakai parang rusak gendreh kebawah. Garwa Padmi KG Pangeran Adipati sama dengan suaminya. Garwa Ampeyan KG Pangeran Adipati diperbolehkan memakai parang rusak gendreh ke bawah. Demikian pula putra KG Pangeran Adipati. Istri para Pangeran Putra dan Pangeran Putra Raja yang terdahulu ( Pangeran Putra Sentananing Panjenengan dalem Nata ) sama dengan suaminya . Garwa Ampeyan para Pangeran diperbolehkan memakai parang rusak gendreh ke bawah.

topiq pake batik larangan:


Wayah dalem ( cucu Raja ) mengenakan parang rusak gendreh ke bawah. Pun Buyut dalem ( cicit Raja) dan Canggah dalem ( Putranya buyut ). Warengipun Panjenengan dalem Nata ( putra dan putri ) kebawah diperbolehkan mengenakan kain batik parang – parangan harus seling , tidak diperbolehkan byur atau polos.
Pepatih dalem ( Patih Raja ) diperkenankan memakai parang rusak barong kebawah.

Abdidalem : Pengulu Hakim , Wedana Ageng Prajurit , Bupati Nayaka Jawi lan lebet diperkenankan mengenakan parang rusak gendreh kebawah.
Bupati Patih Kadipaten dan Bupati Polisi sama dengan abdidalem tersebut diatas.

Penghulu Landrad , Wedana Keparak para Gusti ( Nyai Riya ), Bupati Anom , Riya Bupati Anom , parang rusak gendreh kebawah.
Abdidalem yang pangkatnya dibawah abdi dalem Riya Bupati Anom dan yang bukan pangkat bupati Anom, yakni yang berpangkat Penewu Tua

sumber: Taman Bacaan Bastari Samarinda

BATIK KRATON (Part I - Kisah Batik Truntum)

Pada zaman dahulu, pembuatan batik yang pada tahap pembatikannya hanya dikerjakan oleh putri-putri di lingkungan kraton dipandang sebagai kegiatan penuh nilai kerohanian yang memerlukan pemusatan pikiran, kesabaran, dan kebersihan jiwa dengan dilandasi permohonan, petunjuk, dan ridha Tuhan YME. Itulah sebabnya ragam hias wastra batik senantiasa menyembulkan keindahan abadi dan mengandung nilai-nilai perlambang yang berkait erat dengan latar belakang penciptaan, penggunaan, dan penghargaan yang dimiliknya.

Dalam forum Roundtable On Museum Textile di Washington D.C. pada tahun 1979, K.P.T. Hardjonagoro mengisahkan proses penciptaan ragam hias truntum karya Kanjeng Ratu Beruk, permaisuri Sri Susuhunan Paku Buwono III. Dalam keprihatinan dan kesedihan yang amat dalam karena tidak lagi memperoleh cinta kasih sri baginda, Kanjeng Ratu Beruk menciptakan suatu pola batik dengan disertai doa dan permohonan rahmat kepada Sang Pencipta agar sri baginda kembali mencintainya

Doa sang permaisuri terkabul. Pada suatu hari Sri Susuhunan hadir di tempat permaisuri membatik. Kehadiran sri Baginda ternyata kemudian diikuti oleh kehadiran sri baginda pada hari-hari berikutnya. Setelah menyaksikan hasil akhir dari wastra batik karya permaisuri, sri baginda memanggil Kanjeng Ratu Beruk kembali ke istana. Permaisuri mengabdikan peristiwa "kembali tumbuhnya cinta kasih sribaginda" dan "kembali berkumpulnya sri baginda-permaisuri" dengan memberi nama truntum pada ragam hias batik karyanya yang memang belum diberi nama itu. Secara harafiah truntum berarti 'timbul' atau 'berkumpul'.


BATIK KRATON (Part II - pengertian)

"Batik Kraton" adalah wastra batik dengan pola tradisional, terutama yang semula tumbuh dan berkembang di kraton-kraton di Jawa. Tata susun ragam hias dan pewarnaannya merupakan paduan mengagumkan antara seni, adat, pandangan hidup, dan kepribadian lingkungan yang melahirkannya, yaitu lingkungan kraton. Karya seni para putri dan seniman kraton ini tercipta melalui proses kreatif yang selalu terkait dengan pandangan hidup dan tradisi yang ada pada lingkup kraton serta ditunjang oleh teknologi pada saat itu.

Sebagian besar pola batik kraton mencerminkan pengaruh Hindu-Jawa yang pada jaman Pajajaran dan Majapahit berpengaruh sangat besar dalam seluruh tata kehidupan dan kepercayaan masyarakat Jawa dan pada masa kemudian menampakkan nuansa Islam dalam hal "stilasi" bentuk hiasan yang berkait dengan manusia dan satwa.

Pengaruh Hindu Jawa tercermin dengan jelas pada batik-batik kraton yang berpola semen dan merupakan salah satu gejala yang menarik dalam batik kraton. Meskipun ragam hias batik kraton memiliki aturan yang baku, namun berkat kebebasan menyusun serta memilih ragam hias utama, isen, dan ragam hias pengisi, terdapat jenis pola semen yang cukup banyak jumlahnya. Hiasan utama berupa burung garuda dan pohon hayat mencerminkan unsur mitologi Hindu-Jawa, sementara hiasan pengisi beragam taru 'tetumbuhan' merupakan unsur-unsur asli Jawa. Sedang stilasi perwujudan hingga menjadi tidak wadag merupakan hasil sentuhan Islam yang melarang manusia dan satwa ditampilkan secara nyata dalam karya seni. Stilasi bentuk ini menjadi kecenderungan umum dalam pola batik. Salah satu pola yang merupakan pengecualian dalam hal ini adalah pola Sudarawerti, suatu pola batik kraton Yogyakarta yang menampilkan sosok manusia secara nyata. Pengaruh Islam terlihat pula pada pola Kawung Bouraq.
Sekedar tambahan : semen disini bukan berarti semen bahan bangunan, melainkan dari kata "semi". Semi artinya permulaan tumbuh (bersemi, musim semi.

Pola Batik Sudarawerti


Pola Batik Kawung Bouraq


Sebagian besar warisan budaya klasik Jawa yang bertahan hingga dewasa ini masih mengandung unsur Hindu-Jawa, suatu akulturasi budaya yang tetap dipelihara di dalam lingkup tembok keraton, sekalipun perubahan kehidupan masyarakat di luar tembok kraton senantiasa berlangsung dari masa kemasa dan pengaruh Hindu-Jawa perlahan-lahan surut dari permukaan. Hal ini seperti yang terlihat pada perkembangan pola-pola batik yang berasal dari kraton dan di luar kraton.

BATIK KRATON (Part III - Perkembangan)

Pada awalnya, pembuatan batik kraton secara keseluruhan_sejak penciptaan dan pembuatan ragam hias sampai pencelupan akhir_dikerjakan di dalam kraton dan dibuat khusus untuk keluarga raja. Pola-pola dan pembatikannya dikerjakan oleh para putri istana, sedang pekerjaan lanjutan dilaksanakan oleh para abdi dalem. Dengan demikian, jumlah wastra yang dihasilkan pun terbatas. Seiring dengan kebutuhan wastra batik di lingkungan keluarga dan kerabat keraton yang semakin meningkat, pembuatan wastra batik tidak mungkin lagi tergantung pada putri dan abdi dalem kraton. Keadaan ini menyebabkan munculnya kegiatan pembatikan di luar tembok istana.

Pembatikan di luar istana mula-mula hanya dalam bentuk kegiatan rumah tangga yang dikelola oleh para kerabat dan abdi dalem yang tinggal di luar kraton. Ketika kebutuhan batik meningkat pesat, usaha rumah tangga para kerabat dan abdi dalem berkembang menjadi indutri yang dikelola oleh para saudagar. Mereka mempekerjakan para pembatik terampil dan mengawasi seluruh proses pembatikan. Oleh karena itu hasilnya pun menjadi lebih halus dan lebih indah jika dibandingkan dengan wastra batik pada masa sebelumnya.

Kehadiran para saudagar batik di luar tembok kraton, yang semula hanya untuk memenuhi kebutuhan lingkungan istana, mendorong masyarakat di luar tembok kraton yang tadinya memakai kain tenun ingin pula mengenakan batik. Gayung pun bersambut karena para saudagar batik menangkap kesempatan dengan membuat batik yang diperuntukkkan bagi masyarakat luas.

Perluasan pemakaian batik menyebabkan pihak kraton Surakarta dan Yogyakarta membuat ketentuan mengenai pemakaian pola batik. Ketentuan tersebut diantaranya mengatur sejumlah pola yang hanya boleh dikenakan oleh raja dan keluarga istana. Pola yang hanya boleh dikenakan oleh keluarga istana ini disebut sebagai "pola larangan". Pemberlakuan adanya pola larangan hanya terdapat di istana-istana Surakarta dan Yogyakarta meskipun jenis masing-masing pola larangan tidak sama antar isatana Mataram. Menurut catatan, pemberlakuan pola larangan di kraton Yogyakarta lebih terinci dibanding yang berlaku di kraton Surakarta. Semua pola parang, terutama Parang-rusak Barong, Cemukiran, dan Udan Liris, serta berbagai semen yang menggunakan sawat ageng merupakan pola larangan kraton Surakarta. Adapun pola larangan kraton Yogyakarta antara lain berupa pola parang besar, terutama Parang-rusak Barong, Semen Ageng, dan Sawat Gurdha.

Pola Parang-rusak Barong


Pola Modang Cemukiran


Pola Udan Liris


Pola Parang Kesit Sawat Gurdha



MENEROPONG "MAKNA SPIRITUAL BATIK JAWA"
BATIK TIDAK HANYA MENAMPILKAN KEINDAHAN UJUD SECARA KASAT MATA. MELAINKAN JUGA MENYIMPAN KEDALAMAN SPIRITUAL YANG DIPANCARKAN MELALUI MOTIF-MOTIFNYA YANG “SAKRAL”. TAK MENGHERANKAN JIKA JENIS KAIN KEMUDIAN RAJIN MENYERTAI DAUR KEHIDUPAN MASYARAKAT JAWA. SEJAK LAHIR HINGGA AJAL TIBA.

Hal serupa pernah disampaikan oleh Sri Sultan HB X saat meresmikan Museum Batik di Kraton Yogyakarta 2005 silam. “Sejak lahir, menjalani hidup di dunia hingga meninggal, dibungkus dengan kain batik. Batik sangat dekat dengan kehidupan. Khususnya dalam lingkungan keluarga.”

Kedekatan batik dengan kehidupan masyarakat Jawa telah menjadikannya bagian hidup yang tak terpisahkan. Melalui selembar kain dengan goresan warna lembut terlukis di atasnya, bisa terlihat gambaran hidup masyarakat Jawa secara keseluruhan. Itulah yang membuat batik menjadi karya seni sangat istimewa. Baik dalam proses pembuatan, filosofi yang terkandung, hingga etika dan tata cara pemakaiannya.

Sebagai pusaka warisan leluhur, proses pembuatan kain batik dilakukan dengan melibatkan seluruh indera perasa. Merunut jauh ke belakang, kain yang bersumber dari dalam kraton dan menjadi ageman dalem ingkang sinuwun ini, tak jarang dibuat melalui serangkaian ritual tertentu. Apalagi dahulu, batik dikerjakan sendiri oleh putri-putri kraton.

“Dulu, mereka sering nglakoni yang terwujud dalam puasa dengan mengurangi diri dari makan, minum, tidur, dan kesenangan duniawi yang lain, serta bersemedi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan ilham dalam menciptakan motif batik,” ungkap Ir Toetti T Soerjanto.

Menurut wanita yang mengaku sangat mencintai batik ini, pada zaman dulu membatik merupakan kegiatan yang penuh nilai rohani. Selain memerlukan pemusatan pikiran dan kesabaran, juga dilakukan dengan kebersihan jiwa untuk memohon petunjuk dari Gusti Yang Murbeng Dumadi agar mendapatkan ilham dalam menciptakan motif batik. Dari sinilah kemudian motif batik diyakini mengandung filosofi sesuai motifnya.

Hal senada diungkapkan oleh Mari S Condronegoro. Menurut wanita keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono VII ini, ritual yang mengiringi proses pembuatan batik biasanya adalah laku puasa. Dengan berpuasa, kata Mari, diharapkan akan muncul ketenangan diri hingga bisa mendapatkan ilham untuk menciptakan motif yang baru. Biasanya, semakin penting batik yang dibuat, semakin lama pula puasa dilakukan.

Selain puasa, dilakukan pula pembacaan doa-doa. Mengikuti dhawuh dalem dulu di mana Sultan merupakan seorang Panatagama, maka doa-doa yang dibaca adalah doa-doa muslim yang merupakan agama yang dianut oleh Sultan. Dengan ritual tersebut, diharapkan proses pembuatan batik akan berlangsung lancar. Syukur bisa menghasilkan batik bernilai tinggi yang bisa memancarkan aura bagi pemakainya atau “pecah pamore”. Terlebih bila batik yang dibuat itu ditujukan atau akan dipakai oleh sinuwun atau keluarga kraton yang lain.

Meski tidak terpaparkan secara gamblang, laku ritual yang mengiringi proses membatik juga terungkap dari beberapa sumber dari njeron beteng yang turun-temurun mendapat cerita dari eyang buyut dan leluhurnya. Disebutkan, ritual dilakukan secara bertahap sebelum proses pembuatan batik dimulai. Khususnya, jika batik tersebut akan diagem oleh raja, bupati, atau lurah.

Pertama, mengadakan selamatan yang dilanjutkan dengan puasa. Kedua, menyiapkan uba rampe berbentuk kembang setaman dan jajan pasar yang diletakkan di dekat tempat yang akan digunakan untuk membatik. Waktu untuk memulai proses pembuatan batik juga dihitung berdasarkan neton atau hari lahir dan pasaran orang yang nantinya akan mengenakannya.

“Selain itu, mori atau kain yang akan dibatik harus direndam dulu selama 40 hari 40 malam. Jadi, membuat batik itu tidak asal jadi karena ada serangkaian ritual yang harus dilakukan agar auranya keluar,” ujarnya.

Terlepas dari percaya atau tidak, ada satu pengalaman tersendiri yang dialami oleh Larasati Soeliantoro Soeleman saat akan membuat kampuh untuk pernikahan salah satu putrinya dulu. Saat itu, wanita yang mengkoleksi batik-batik Jawa klasik ini meminta tolong perajin batik di Imogiri untuk membuatkan kain tersebut.

Ketika proses berlangsung, ternyata lilin batik tidak bisa keluar dari lubang canting meski berulang kali dibersihkan. Perajin batik yang mengerjakan akhirnya mengusulkan untuk mengadakan selamatan beserta pembacaan doa-doa dulu sebelum proses batik dilanjutkan. “Believe it or not, setelah ritual tersebut akhirnya pekerjaan itu berlangsung lancar,” ujar wanita yang selalu mengenakan batik ini.

Kendati begitu, diakuinya sekarang ini jarang sekali menjumpai ritual-ritual yang mengiringi proses pembuatan batik. Barangkali, selain karena motif yang dibuat kebanyakan tinggal menjimplak, juga karena batik sekarang telah diproduksi secara massal.

FILOSOFI POLA BATIK

Selain proses pembuatannya yang rumit dan selalu disertai dengan serangkaian ritual khusus, batik juga mengandung filosofi tinggi yang terungkap dari motifnya. Hal ini terkait dengan sejarah penciptaan motif batik sendiri yang biasanya diciptakan oleh sinuwun, permaisuri atau putri-putri kraton yang semuanya mengandung falsafah hidup tersendiri bagi pemakainya.

Motif Parang Rusak misalnya. Motif ini diciptakan oleh Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram. Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, Senopati sering bertapa di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa yang dipenuhi oleh jajaran pegunungan seribu yang tampak seperti pereng (tebing) berbaris. Akhirnya, ia menamai tempat bertapanya dengan pereng yang kemudian berubah menjadi parang. Di salah satu tempat tersebut ada bagian yang terdiri dari tebing-tebing atau pereng yang rusak karena deburan ombak laut selatan sehingga lahirlah ilham untuk menciptakan motif batik yang kemudian diberi nama Parang Rusak.

Pola Parang Rusak Barong, diciptakan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya sebagai raja dengan segala tugas kewajibannya, dan kesadaran sebagai seorang manusia yang kecil di hadapan Sang Maha Pencipta. Kata “barong” berarti sesuatu yang besar dan hal ini tercermin pada besarnya ukuran motif tersebut pada kain. Merupakan induk dari semua pola parang, pola barong dulu hanya boleh dikenakan oleh seorang raja. Mempunyai makna agar seorang raja selalu hati-hati dan dapat mengendalikan diri.

Motif parang sendiri mengalami perkembangan dan memunculkan motif-motif lain seperti Parang Rusak Barong, Parang Kusuma, Parang Pamo, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah. Karena penciptanya pendiri Kerajaan Mataram, maka oleh kerajaan, motif-motif parang tersebut hanya diperkenankan dipakai oleh raja dan keturunannya dan tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Jenis batik itu kemudian dimasukkan sebagai kelompok “batik larangan”.

Bila dilihat secara mendalam, garis-garis lengkung pada motif parang sering diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah raja. Komposisi miring pada parang juga melambangkan kekuasaan, kewibawaan, kebesaran, dan gerak cepat sehingga pemakainya diharapkan dapat bergerak cepat.

Menurut penuturan Mari S Condronegoro, pada zaman Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang dan menjadi ketentuan yang termuat dalam Pranatan Dalem Jenenge Panganggo Keprabon Ing Karaton Nagari Ngajogjakarta tahun 1927. “Selain motif Parang Rusak Barong, motif Batik Larangan pada zaman itu adalah, motif Semen, Udan Liris, Sawat dan Cemungkiran,” jelasnya.

Motif batik Semen yang mengutamakan bentuk tumbuhan dengan akar sulurnya ini bermakna semi atau tumbuh sebagai lambang kesuburan, kemakmuran, dan alam semesta. Sedangkan motif Udan Liris termasuk dalam pola geometris yang tergolong motif lereng disusun secara garis miring diartikan sebagai hujan gerimis yang menyuburkan tumbuhan dan ternak.

Secara keseluruhan, motif yang juga tersusun dari motif Lidah Api, Setengah Kawung, Banji, Sawut, Mlinjon, Tritis, ada-ada dan Untu Walang yang diatur diagonal memanjang ini bermakna pengharapan agar pemakainya dapat selamat sejahtera, tabah dan berprakarsa dalam menunaikan kewajiban bagi kepentingan nusa dan bangsa.

Motif lain Sawat bermakna ketabahan hati. Sedangkan motif Cemungkiran yang berbentuk seperti lidah api dan sinar merupakan unsur kehidupan yang melambangkan keberanian, kesaktian, ambisi, kehebatan, dan keagungan yang diibaratkan seperti Dewa Syiwa yang dalam masyaraka Jawa dipercaya menjelma dalam diri seorang raja sehingga hanya berhak dipakai oleh raja dan putra mahkota.

Seiring dengan perkembangan zaman, Batik Larangan sudah tidak sekuat dulu lagi dalam penerapannya. Bahkan, motif-motif tersebut sekarang sudah banyak dikenakan masyarakat di luar tembok kraton. Kendati begitu, Mari S Condronegoro dan GBRAy Hj Murdhokusumo mengimbau masyarakat umum yang bukan kerabat kraton untuk tidak mengenakan motif tersebut, terutama Parang Rusak Barong saat berada di dalam tembok kraton, untuk menjaga wibawa Sultan.

Lebih lanjut, Gusti Murdhokusumo mengatakan bahwa batik akan selalu menandai setiap peristiwa penting dalam kehidupan manusia Jawa sejak lahir hingga ajal tiba. Menurutnya, ada beberapa motif batik yang sebaiknya dikenakan pada peristiwa-peristiwa penting yang dialami masyarakat Jawa. Peristiwa kelahiran, misalnya, sebaiknya jabang bayi dialasi dengan kain batik tua milik neneknya atau kopohan yang berarti basah. Ini mengandung harapan agar si bayi berumur panjang seperti sang nenek.

Untuk pernikahan, disarankan mempelai mengenakan kain batik dengan motif yang berawalan dengan “sida”, seperti Sidamulya, Sidaluhur, Sida Asih, dan Sidomukti. Atau kalau tidak, bisa mengenakan motif Truntum, Wahyu Tumurun, Semen Gurdha, Semen Rama dan Semen Jlekithet. Masing-masing mengandung maksud agar kedua mempelai mendapat kebahagiaan, kemakmuran dan menjadi orang terpandang.

“Yang pasti, pengantin jangan mengenakan motif Parang Rusak agar rumah tangganya terhindar dari kerusakan dan malapetaka,” ungkapnya. Sebaliknya, ketika akan melayat ke tempat keluarga yang sedang kesripahan (meninggal dunia) maka sebaiknya mengenakan kain batik yang berwarna dasar hitam dan menghindari batik dengan warna dominan putih seperti motif parang. Jenis batik yang cocok untuk melayat, misalnya motif Semen Gurda atau motif lain yang warna dasar senada.

ETIKA MENGENAKAN BATIK

Memahami makna filosofis dari setiap motif batik yang ada, ternyata belum bisa menjadi jaminan untuk bisa mengenakan busana batik secara benar. Sebab, masih ada serangkaian etika berikut tata cara pemakaiannya. Setiap motif, kata GBRAy Hj Murdhokusumo, membutuhkan cara pemakaian yang berbeda-beda. Baik dari penempatan waktu dan tempatnya maupun dari sisi pemakainya.

Untuk batik dengan motif Lereng, misalnya, ketika dikenakan kaum wanita harus dimulai dari kiri ke kanan. Maksudnya, kain mulai diikatkan dari sebelah kiri sehingga ujung kain akan berakhir di sebelah kanan. Sebaliknya untuk laki-laki dimulai dari sisi kanan dan ujungnya berakhir di sebelah kiri. Selain itu, garis lereng atau parang-nya harus mengadap ke bawah.

Mengenakan kain batik tak bisa dipisahkan dengan urusan wiru. Untuk melipat wiru, dimulai dengan warna putih berada di arah luar dan “wiron” harus jatuh di atas paha kanan untuk putri. Sedangkan untuk laki-laki, wiru berada di tengah dan menghadap ke arah kiri. Biasanya, wiron untuk laki-laki lipatannya lebih besar dibanding wiron untuk kain yang dikenakan perempuan.

Di lingkungan kraton, bagi generasi cucu laki-laki ke bawah dan abdi dalem, sebaiknya mengenakan wiru engkol. Sedang untuk putri, tergantung dhawuh dalem. Harus pakai wiron atau seredhan (kain yang tidak diwiru), Hal yang terlihat sepele tapi penting adalah jika mengenakan motif Gurdha, motif binatang atau kembang, maka ceploknya harus menghadap ke atas.

Saat mengenakan kain batik, tutur Mari Condronegoro, bagian mata kaki harus tertutup. Begitupun untuk bagian atas, terutama bagi perempuan, sebaiknya dibuat agak longgar sehingga tidak memperlihatkan lekuk tubuh pemakainya. Sepintas, potongan seperti ini terkesan tidak rapi, tetapi memang seperti inilah etika yang harus dipatuhi.

Begitulah, dari ribuan motif atau pola tradisional yang ada, dalam kesempatan ini hanya beberapa yang diuraikan karena keterbatasan ruang. Apalagi untuk menganalisa makna filosofis dari simbol-simbol yang terkadang bersifat ganda dan menyejarah, diperlukan interpretasi dan reinterpretasi makna yang cerdas, jujur dan dengan kesungguhan agar makna-makna yang disampaikan dapat diterima oleh masyarakat Dan, dengan begitu akan bisa menambah pemahaman dan kecintaan kita terhadap batik. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan nguri-uri warisan budaya adiluhung itu?

MELACAK SEJARAH MOTIF BATIK KRATON

PROF DR SUJOKO (ALM), PAKAR SENI RUPA DARI ITB PERNAH MENYAMPAIKAN DI YOGYAKARTA, BAHWA PELUKIS PERTAMA DARI INDONESIA ADALAH PEREMPUAN JAWA YANG “MELUKIS” DENGAN CANTING DI ATAS BAHAN TENUNANNYA.

Melukis dengan canting, sudah jelas yang dimaksud tentu membatik. Dan, merujuk pada penjelasan waktu pada kalimat sang profesor tersebut, sudah sangat menjelaskan pula bahwa batik Jawa telah lama ada, bahkan merupakan produk seni rupa paling tua di Indonesia.

Secara terminologi, kata batik berasal dari kosa kata bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan “malam” yang diaplikasikan ke atas kain untuk menahan masuknya bahan pewarna.

Dari zaman kerajaan Mataram Hindu sampai masuknya agama demi agama ke Pulau Jawa, sejak datangnya para pedagang India, Cina, Arab, yang kemudian disusul oleh para pedagang dari Eropa, sejak berdirinya kerajaan Mataram Islam yang dalam perjalanannya memunculkan Kraton Yogyakarta dan Surakarta, batik telah hadir dengan corak dan warna yang dapat menggambarkan zaman dan lingkungan yang melahirkan.

Pada abad XVII, batik bertahan menjadi bahan perantara tukar-menukar di Nusantara hingga tahun-tahun permulaan abab XIX. Memang. Ketika itu batik di Pulau Jawa yang menjadi suatu hasil seni di dalam kraton telah menjadi komoditi perdagangan yang menarik di sepanjang pesisir utara.

Menurut Mari S Condronegoro dari trah Sri Sultan Hamengku Buwono VII, di lingkungan bangsawan kraton di Jawa, kain batik dikenakan sebagai busana mereka. Kain batik di lingkungan kraton merupakan kelengkapan busana yang dipergunakan untuk segala keperluan, busana harian, busana keprabon, busana untuk menghadiri upacara tradisi, dan sebagainya. Busana pria Jawa yang terdiri dari tutup kepala, nyamping, kampuh, semuanya berupa kain batik. Begitu pula dengan kelengkapan busana putri Jawa yang juga berupa kain batik.

Dahulu, kain batik dibuat oleh para putri sultan sejak masih berupa mori, diproses, hingga menjadi kain batik siap pakai. Semuanya dikerjakan oleh para putri dibantu para abdi dalem. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Murdijati Gardjito dari Paguyuban Pencinta Batik Sekar Jagad, membatik di lingkungan kraton merupakan pekerjaan domestik para perempuan. Sebagai perempuan Jawa, ada keharusan bisa membatik, karena membatik sama dengan melatih kesabaran, ketekunan, olah rasa, dan olah karsa.

Keberadaan batik Yogyakarta tentu saja tidak terlepas dari sejarah berdirinya kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senopati. Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, ia sering bertapa di sepanjang pesisir Pulau Jawa, antara lain Parangkusuma menuju Dlepih Parang Gupito, menelasuri tebing Pegunungan Seribu yang tampak seperti “pereng” atau tebing berbaris.

Sebagai raja Jawa yang tentu saja menguasai seni, maka keadaan tempat tersebut mengilhaminya menciptakan pola batik lereng atau parang, yang merupakan ciri ageman Mataram yang berbeda dengan pola batik sebelumnya. Karena penciptanya adalah raja pendiri kerajaan Mataram, maka oleh keturunannya, pola-pola parang tersebut hanya boleh dikenakan oleh raja dan keturunannya di lingkungan istana.

Motif larangan tersebut dicanangkan oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1785. Pola batik yang termasuk larangan antara lain: Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, serta motif parang-parangan yang ukurannya sama dengan parang rusak.

Semenjak perjanjian Giyanti tahun 1755 yang melahirkan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, segala macam tata adibusana termasuk di dalamnya adalah batik, diserahkan sepenuhnya oleh Kraton Surakarta kepada Kraton Yogyakarta. Hal inilah yang kemudian menjadikan kraton Yogyakarta menjadi kiblat perkembangan budaya, termasuk pula khazanah batik.

Kalaupun batik di kraton Surakarta mengalami beragam inovasi, namun sebenarnya motif pakemnya tetap bersumber pada motif batik Kraton Yogyakarta. Ketika tahun 1813, muncul Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta akibat persengketaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Letnan Gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles, perpecahan itu ternyata tidak melahirkan perbedaan mencolok pada perkembangan motif batik tlatah tersebut.

Menurut KRAy SM Anglingkusumo, menantu KGPAA Paku Alam VIII, motif-motif larangan tersebut diizinkan memasuki tlatah Kraton Puro Pakualaman, Kasultanan Surakarta maupun Mangkunegaran. Para raja dan kerabat ketiga kraton tersebut berhak mengenakan batik parang rusak barong sebab sama-sama masih keturunan Panembahan Senopati.

Batik tradisional di lingkungan Kasultanan Yogyakarta mempunyai ciri khas dalam tampilan warna dasar putih yang mencolok bersih. Pola geometri kraton Kasultanan Yogyakarta sangat khas, besar-besar, dan sebagian diantaranya diperkaya dengan parang dan nitik. Sementara itu, batik di Puro Pakualaman merupakan perpaduan antara pola batik Kraton KasultananYogyakarta dan warna batik Kraton Surakarta.

Jika warna putih menjadi ciri khas batik Kasultanan Yogyakarta, maka warna putih kecoklatan atau krem menjadi ciri khas batik Kraton Surakarta. Perpaduan ini dimulai sejak adanya hubungan keluarga yang erat antara Puro Pakualaman dengan Kraton Surakarta ketika Sri Paku Alam VII mempersunting putri Sri Susuhunan Pakubuwono X. Putri Kraton Surakarta inilah yang memberi warna dan nuansa Surakarta pada batik Pakualaman, hingga akhirnya terjadi perpaduan keduanya.

Dua pola batik yang terkenal dari Puro Pakulaman, yakni Pola Candi Baruna yang tekenal sejak sebelum tahun 1920 dan Peksi Manyuro yang merupakan ciptaan RM Notoadisuryo. Sedangkan pola batik Kasultanan yang terkenal, antara lain: Ceplok Blah Kedaton, Kawung, Tambal Nitik, Parang Barong Bintang Leider, dan sebagainya.

Begitulah. Batik painting pada awal kelahirannya di lingkungan kraton dibuat dengan penuh perhitungan makna filosofi yang dalam. Kini, batik telah meruyak ke luar wilayah benteng istana menjadi produk industri busana yang dibuat secara massal melalui teknik printing atau melalui proses lainnya. Bahkan diperebutkan sejumlah negara sebagai produk budaya miliknya.

Barangkali sah-sah saja. Tetapi selama itu masih bernama batik, maka sebenarnya tak ada yang perlu diperdebatkan tentang siapa pemilik aslinya. Bukankah kata “batik” (amba titik), sudah menjelaskan dari mana asal muasal bahasanya?

POLA BATIK

Pola Batik Semen

Oleh : Ny. Toetti Toekajati Soerjanto

I. Pendahuluan
Pola batik semen tampil dalam batik dari setiap daerah, terutama di Pulau Jawa, yang meliputi antara lain Yogyakarta, Surakarta, Banyumas dan Cirebon. Pola batik semen dijumpai terutama pada jenis Batik Kraton, Batik Pengaruh Kraton, Batik Sudagaran, Batik Petani, dan Batik Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pola batik semen terdapat pada sebagian besar jenis batik. Pola semen sangat mudah dikenali karena mempunyai ragam hias penyusun yang khas yang selalu hadir dalam pola-polanya.

II. Sejarah Pola Semen
Asal mula hadirnya pola semen berawal pada saat pemerintahan Sunan Paku Buwono IV (1787 1816) di saat beliau mengangkat putera mahkota sebagai calon penggantinya. Beliau menciptakan pola tersebut guna mengingatkan puteranya kepada perilaku dan watak seorang penguasa seperti wejangan yang diberikan oleh Prabu Rama kepada Raden Gunawan Wibisana saat akan menjadi raja. Wejangan tersebut dikenal dengan sebutan Hasta Brata.
Wejangan ini terdiri dari 8 (hasta) hal yang masing-masing ditampilkan dalam pola semen dengan bentuk ragam-ragam hias yang mempunyai arti filosofis sesuai dengan makna masing masing ragam hias tersebut. Oleh karena itu, pola batik ciptaan beliau tersebut diberi nama semen Rama (dari Prabu Rama). Berdasarkan uraian diatas nampak bahwa pola semen merupakan salah satu pola batik yang mencerminkan pengaruh agama Hindhu-Budha pada batik. Hal tersebut dapat dimengerti karena pada saat pola-pola batik diciptakan yaitu kira-kira pada zaman kerajaan Mataram (pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo, abad 17 M), peradaban di kerajaan tersebut masih mempertahankan unsur-unsur tradisi Jawa yang sangat dipengaruhi oleh agama Hindhu-Budha. Pengaruh tersebut tidak hanya terdapat pada unsur-unsur kesenian dan kesusasteraan saja, melainkan juga unsur-unsur yang terdapat dalam upacara adat dan keagamaan hingga saat ini.
Dibandingkan dengan pola Parang atau Lereng yang sudah ada sejak zaman Mataram (pada masa Penembahan Senopati), pola semen tergolong lebih muda. Pola semen yang diciptakan setelah pola semen Rama selalu mengandung ragam-ragam hias yang terdapat pada pola semen Rama, baik sebagian ataupun seluruhnya. Namun demikian, ada satu ragam hias yang selalu harus dihadirkan dan merupakan ciri dari sebuah pola semen adalah ragam hias gunung atau meru. Hal ini disebabkan karena nama dari pola semen diperoleh dari ragam hias tersebut.
Asal kata semen adalah semi. Ragam hias gunung atau meru berasal dari kata Mahameru yaitu gunung tertinggi tempat bersemayam para dewa dari agama Hindhu. Di gunung pasti terdapat tanah tempat tumbuh-tumbuhan bersemi. Dari sinilah asal kata semen.
Pola semen termasuk dalam golongan pola batik non geometris, selain pola-pola batik Lung-lungan Buketan, Dan Pinggiran.

III. Perkembangan Pola Semen
Sebagaimana disebutkan diatas, pola semen pertama-tama menampilkan ragam-ragam hias yang mengikuti arti filosofis agama Hindhu (diambil dari ceritera Ramayana), sehingga arti filosofis pola semen sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam Hastabrata Ramayana.
Dalam perkembangan selanjutnya, kandungan nilai filosofis pola semen, selain yang dilambangkan oleh ragam hias dari Hastabrata, ada pula yang ditambah dengan ragam-ragam hias lain yang menjadi dasar pemberian nama polanya, sebagai contoh adalah pola semen Gajah Birawa. Dalam pola tersebut nampak adanya ragam hias berupa gajah, pada semen rante terdapat bentuk-bentuk seperti rantai, dan seterusnya. Selain itu, banyak pola semen dengan ragam hias pokok yang sudah mengalami improvisasi sesuai selera penciptanya tetapi tetap alam arti filosofis yang sama, diberi nama yang mempunyai arti sebagai cerminan serta harapan. Sebagai contoh adalah semen Sidoasih dengan berbagai versi namun mencerminkan arti yang sama.

IV. Jenis jenis batik yang memiliki pola semen
1. Batik Kraton - Kraton Yogyakarta (semen gurdho, semen sinom), Kraton Surakarta (semen gendhong, semen rama), Puro Pakualaman (semen sidoasih), Puro Mangkunegaran (semen jolen), Cirebon (semen rama, sawat pengantin).
2. Batik Pengaruh Kraton - Banyumas (semen klewer banyumasan).
3. Batik Sudagaran - Yogyakarta (semen sidoasih, semen giri), Surakarta (semen rama, semen kakrasana).
4. Batik Pedesaan - Yogyakarta (semen rante), Surakarta (semen rama).
5. Batik Indonesia

Bermacam-macam pola semen terdapat dalam jenis Batik Indonesia ini. Bahkan pada pemunculan pertamanya yaitu kurang lebih pada tahun 1950, pola batik semen mendominasi jenis Batik Indonesia ini disamping pola parang dan lereng karena pada prinsipnya Batik Indonesia merupakan perpaduan antara pola batik klasik atau tradisional (pola semen dan pola parang atau lereng) dengan pewarnaan Batik Pesisiran.

Contoh Pola Batik Semen:

Blenderan


Cuwiri


Cuwiri Ceceg


Cuwiri Sala


Semen Condro


Semen Gunung


Semen Gurdo


Semen Jlekethit


Jlekethit - Keraton Sala


Semen Nogo


Pola Batik Nitik

Oleh: Ny Ir. Toetti T. Surjanto


Batik merupakan hasil seni budaya yang memiliki keindahan visual dan mengandung makna filosofis pada setiap motifnya.

Penampilan sehelai batik tradisional baik dari segi motif maupun warnanya dapat mengatakan kepada kita dari mana batik tersebut berasal. Motif batik berkembang sejalan dengan perjalanan waktu, tempat, peristiwa yang menyertai, serta perkembangan kebutuhan masyarakat. Sering kali tempat memberi pengaruh yang cukup besar pada motif batik. Meskipun berasal dari sumber atau tempat yang sama, namun karena tempat berkembangnya berbeda, maka akan menghasilkan motif baru yang berbeda pula. Sebagai contohnya adalah motif Nitik.


Motif Nitik sebenarnya berasal dari pengaruh luar yang berkembang di pantai utara laut Jawa, sampai akhirnya berkembang pula di pedalaman menjadi suatu motif yang sangat indah. Pada saat pedagang dari Gujarat datang di pantai utara pulau Jawa, dalam dagangannya terdapat kain tenun dan bahan sutera khas Gujarat. Motif dan kain tersebut berbentuk geometris dan sangat indah, dibuat dengan teknik dobel ikat yang disebut "Patola" yang dikenal di Jawa sebagai kain "cinde". Warna yang digunakan adalah merah dan biru indigo.


Motif kain patola memberi inspirasi para pembatik di daerah pesisir maupun pedalaman, bahkan lingkungan Kraton. Di daerah Pekalongan terciptalah kain batik yang disebut Jlamprang, bermotif Ceplok dengan warna khas Pekalongan. Karena terinspirasi motif tenunan, maka motif yang tercipta terdiri dari bujur sangkar dan persegi panjang yang disusun sedemikian rupa sehingga menggambarkan anyaman yang terdapat pada tenunan Patola. Karena kain batik Jlamprang berkembang di daerah pesisir, maka warnanya pun bermacam-macam sesuai selera konsumennya yang kebanyakan berasal dari Eropa, Cina, dan negara-negara lain. Warna yang dominan digunakan adalah rnerah, hijau, biru dan kuning, meskipun masih juga menggunakan warna soga dan wedelan.


Selain terdiri dari bujur sangkar dan persegi panjang, Nitik dari Yogyakarta juga diperindah dengan hadirnya isen-isen batik lain seperti, cecek (cecek pitu, cecek telu), bahkan ada yang diberi ornamen batik dengan Klowong maupun Tembokan, sehingga penampilannya baik bentuk dan warnanya lain dari motif Jlamprang Pekalongan. Nitik dari Yogyakarta menggunakan warna indigo, soga (coklat) dan putih. Seperti motif batik yang berasal dari Kraton lainnya, motif Nitik kreasi Kraton juga berkembang keluar tembok Kraton. Lingkungan Kraton Yogyakarta yang terkenal dengan motif Nitik yang indah adalah Ndalem Brongtodiningrat. Pada tahun 1940, GBRAy Brongtodiningrat pernah membuat dokumen diatas mori berupa batik kelengan dan lima puluh enam motif Nitik. Sejak kira-kira tahun 1950 sampai saat ini, pembatikan yang membuat batik Nitik adalah Desa Wonokromo dekat Kotagede.


Untuk membuat batikan yang berbentuk bujur sangkar dan persegi panjang diperlukan canting tulis khusus dengan lubang canting yang berbeda dengan canting biasa. Canting tulis Nitik di buat dengan membelah lubang canting biasa ke dua arah yang saling tegak lurus. Dalam pengerjaannya, setelah pencelupan pertama dalam warna biru, proses mengerok hanya dikerjakan untuk bagian cecek saja, atau bila ada bagian klowongnya. Agar warna soga dapat masuk di bagian motif yang berupa bujur sangkar dan persegi panjang yang sangat kecil tersebut, maka bagian tersebut "diuyek" sehingga pada bagian tertentu lilinnya dapat lepas dan warna soga dapat masuk ke dalamnya. Oleh karena itu untuk membuat batik Nitik memerlukan lilin khusus yaitu lilin yang kekuatan menempelnya antara lilin klowong dan lilin tembok. Langkah selanjutnyaadalah "mbironi", menyoga dan akhimya "melorod".


Sampai saat ini terdapat kurang lebih 70 motif nitik. Sebagian besar motif Nitik di beri nama dengan nama bunga, seperti kembang kenthang, sekar kemuning, sekar randu, dan sebagainya. Ada pula yang di beri nama lain, misalnya, nitik cakar, nitik jonggrang, tanjung gunung dan sebagainya. Selain tampil sendiri, motif Nitik sering di padu dengan motif Parang, ditampilkan dalam bentuk ceplok, kothak atau sebagai pengisi bentuk keyong, dan juga sebagal motif untuk sekar jagad, tambal, dan sebagainya. Paduan motif ini terdiri dan satu macam maupun bermacam-macam motif Nitik. Tampilan yang merupakan paduan motif Nitik dengan motif lain membawa perubahan nama, misalnya parang seling nitik, nitik tambal, nitik kasatrian dan sebagainya.


Seperti halnya motif batik yang lain, motif nitik juga mempunyai arti filosofis, misalnya nitik cakar yang sering digunakan pada upacara adat perkawinan. Diberi nama demikian karena pada bagian motifnya terdapat ornamen yang berbentuk seperti cakar. Cakar yang di maksud adalah cakar ayam atau kaki bagian bawah. Cakar ini oleh ayam digunakan untuk mengais tanah mencari makanan atau sesuatu untuk dimakan. Motif nitik cakar dikenakan pada upacara adat perkawinan dimaksudkan agar pasangan yang menikah dapat mencani nafkah dengan halal sepandai ayam mencari makan dengan cakarnya. Nitik cakar dapat berdiri sendiri sebagai motif dan satu kain atau sebagai bagian dan motif kain tertentu, seperti motif Wirasat atau Sidodrajat, yang juga sening digunakan dalam upacara adat perkawinan.

Contoh Pola Batik Nitik:

Arum Dalu


Brendi


Cakar Ayam


Ceplok Liring


Cinde Wilis


Gendhagan


Jaya Kirana


Jaya Kusuma


Kawung Nitik


Kemukus


Klampok Arum


Krawitan


Kuncul Kanthil


Manggar


Pola Batik Ceplok

Sebagian besar Pola Ceplok itu merupakan pola-pola batik kuno yang terdapat pada hiasan arca di Candi Hindu/Budha dengan bentuk kotao-kotak, lingkaran, binatang, bentuk tertutup serta garis-garis miring.
Pola dasar yang terdapat pada candi Hindu di arca Ganesha dari Banon Borobudur, arca Hari Hara dari Blitar, Ganesha dari Kediri dan arca arca Parwati dari Jawa merupakan pola dasar dari pola Kawung.


Dasar pola Ceplok terdapat di arca Budha antara lain Budha Mahadewa dari Tumpang dan arca Brkhuti dari candi Jago.
Terlihat dari uraian diatas pola Kawung merupakan pola ceplok tertua dan terdiri dari 4 ragam hias elips atau lingkaran yang disusun sedemikian rupa sehingga keempatnya besinggungan satu sama lainnya dan ditengahnya terdapat ragam hias Mlinjon.
Selanjutnya elips/lingkaran ini dimodifikasi dengan menambah ragam hias isen atau mengubah bentuk sehingga diperoleh pola kawung yang indah dan beragam dengan nama beragam pula, antara lain kawung prabu, brendi, geger mendut, gelar, sisik dan sebagainya.
Dari ukuran lingkaran juga diciptakan berbagai pola seperti kawung ndil, sen, benggol, semar, raja dan lainnya.


Pola Kawung seperti halnya pola nitik, pola banji, pola ganggong karena jumlahnya sangat banyak sering dikelompokan sebagai pola tersendiri. Dengan demikian pembagian golongan dalam pola geometris menjadi golongan Ceplokan, golongan pola Kawung, Pola Nitik, Pola Ganggong, Pola Banji, Pola Parang dan pola Lereng.
Pola Ceplok kuno Yogyakarta adalah dari keraton Kotagede [Mataram] sedangkan pola Ceplok Surakarta diciptakan setelah pembagian kerajaan Mataram menjadi dua.
Kadang ada pola yang dinamakan sama tetapi polanya beda antara satu tempat dan lainnya, seperti pola ceplok Yogya kadang mempunyai nama sama dengan pola semen Surakarta, contohnya pola ceplok Kokrosono di Yogya kalau di Surakarta dikenal sebagai pola Semen.

Contoh Pola Batik Ceplok:

Ambar Kumitir


Campur Sari


Dhempel


Ganggong


Keteblem


Kitiran


Lintang Rahino


Namnaman Ceplok Rider


Peksi Kekaring


Ratu Ratih Yogya


Rider


Ron Telo


Tri Mino


Wastra Bawana


MOTIF CIREBON

Hampir di seluruh wilayah Jawa memiliki kekayaan budaya batik yang khas. tentu saja ada daerah-daerah yang lebih menonjol seperti Solo, Yogya, dan Pekalongan. tetapi kekayaan seni batik daerah Cirebon juga tidak kalah dibanding kota-kota lainnya.
Menurut sejarahnya, di daerah Cirebon terdapat pelabuhan yang ramai disinggahi berbagai pendatang dari dalam maupun luar negri. Salah satu pendatang yang cukup berpengaruh adalah pendatang dari Cina yang membawa kepercayaan dan seni dari negerinya.

Batik Tiga Negeri


Motif Dewa-Dewa


Primisan


Obar-Abir


Dalam Sejarah diterangkan bahwa Sunan Gunung Jati yang mengembangkan ajaran Islam di daerah Cirebon menikah dengan seorang putri Cina Bernama Ong TIe. Istri beliau ini sangat menaruh perhatian pada bidang seni, khususnya keramik. Motif-motif pada keramik yang dibawa dari negeri cina ini akhirnya mempengaruhi motif-motif batik hingga terjadi perpaduan antara kebudayaan Cirebon-Cina.
Salah satu motif yang paling terkenal dari daerah Cirebon adalah batik Mega Mendung atau Awan-awanan. Pada motif ini dapat dilihat baik dalam bentuk maupun warnanya bergaya selera cina.

Motif mega mendung melambangkan pembawa hujan yang di nanti-natikan sebagai pembawa kesuburan, dan pemberi kehidupan. Motif ini didominasi dengan warna biru, mulai biru muda hingg biru tua. Warna biru tua menggambarkan awan gelap yang mengandung air hujan, pemberi penghidupan, sedangkan warna biru muda melambangkan semakin cerahnya kehidupan.

MOTIF YOGYAKARTA

Batik Cuwiri [Batik Tulis]

Zat Warna : Soga Alam
Kegunaan : Sebagai “Semek’an” dan Kemben. Dipakai saat upacara “mitoni”
Unsur Motif : Meru, Gurda
Filosofi : Cuwiri artinya kecil-kecil, Diharapkan pemakainya terlihat pantas dan dihormati

Batik Sido Mukti [Batik Tulis]

Zat Warna : Soga Alam
Kegunaan : Sebagai kain dalam upacara perkawinan
Unsur Motif : Gurda
Filosofi : Diharapkan selalu dalam kecukupan dan kebahagiaan.

Batik Kawung [Batik Tulis]

Zat Warna : Naphtol
Kegunaan : Sebagai Kain Panjang
Unsur Motif : Geometris
Filosofi : Biasa dipakai raja dan keluarganya sebagai lambang keperkasaan dan keadilan

Batik Pamiluto [Batik Tulis]

Zat Warna : Soga Alam
Kegunaan : Sebagai kain panjang saat pertunangan
Unsur Motif : Parang, Ceplok, Truntum dan lainnya
Filosofi : Pamiluto berasal dari kata “pulut”, berarti perekat, dalam bahasa Jawa bisa artinya kepilut [tertarik].


Batik Parang Kusumo [Batik Tulis]

Zat Warna : Naphtol
Kegunaan : Sebagai kain saat tukar cincin
Unsur Motif : Parang, Mlinjon
Ciri Khas : Kerokan
Filosofi : Kusumo artinya bunga yang mekar, diharapkan pemakainya terlihat indah

Batik Ceplok Kasatrian [Batik Tulis]

Zat Warna : Soga Alam
Kegunaan : Sebagai kain saat kirab pengantin
Unsur Motif : Parang, Gurda, Meru
Ciri Khas : Kerokan
Filosofi : Dipakai golongan menengah kebawah, agar terlihat gagah

Batik Nitik Karawitan [Batik Tulis]

Zat Warna : Soga Alam
Kegunaan : Sebagai kain panjang
Ciri Khas : Kerokan
Unsur Motif : Ceplok
Filosofi : Pemakainya orang yang bijaksana

Batik Truntum [Batik Tulis]

Zat Warna : Soga Alam
Kegunaan : Dipakai saat pernikahan
Ciri Khas : Kerokan
Filosofi : Truntum artinya menuntun, diharapkan orang tua bisa menuntun calon pengantin.

Batik Ciptoning [Batik Tulis]

Zat Warna : Soga Alam
Kegunaan : Sebagai kain panjang
Unsur Motif : Parang, Wayang
Ciri Khas : Kerokan
Filosofi : Diharapkan pemakainya menjadi orang bijak, mampu memberi petunjuk jalan yang benar

Batik Tambal [Batik Tulis]

Zat Warna : Soga Alam
Kegunaan : Sebagai Kain Panjang
Unsur Motif : Ceplok, Parang, Meru dll
Ciri Khas : Kerokan
Filosofi : Ada kepercayaan bila orang sakit menggunakan kain ini sebagai selimut, sakitnya cepat sembuh, karena tambal artinya menambah semangat baru

Batik Slobog [Batik Tulis]

Zat Warna : Naphtol
Kegunaan : Sebagai kain panjang
Unsur Motif : Ceplok
Ciri Khas : Kerokan
Filosofi : Slobog bisa juga “lobok” atau longgar, kain ini biasa dipakai untuk melayat agar yang meninggal tidak mengalami kesulitan menghadap yang kuasa

Batik Parang Rusak Barong [Batik Tulis]

Zat Warna : Soga Alam
Kegunaan : Sebagai kain panjang
Unsur Motif : Parang, Mlinjon
Ciri Khas : Kerokan
Filosofi : Parang menggambarkan senjata, kekuasaan. Ksatria yang menggunakan batik ini bisa berlipat kekuatannya.

Batik Udan Liris

Zat Warna : Soga Alam
Kegunaan : Sebagai kain panjang
Unsur Motif : Kombinasi Geometris dan Suluran
Ciri Khas : Kerokan
Filosofi : Artinya udan gerimis, lambang kesuburan


PROSES PEMBUATAN KAIN BATIK

1. kain mori dibuat sketsa menggunakan pensil

2. sketsa kemudian dilukis menggunakan malam (lilin)

namun ada juga yang langsung diwarnai

3. setelah dilukis, kain dimasak ke dalam larutan pewarna


4. lalu dijemur dgn cara diangin-anginkan

Berikut adalah kain batik dipakai oleh para Puteri Keraton Yogyakarta
(jangan membayangkan mrk masih muda2 yah, hehehe)
Perhatikan cara pemakaian batik mrk yg berbeda2
(jangan tanya saya berbagai tata cara pemakaiannya, soalnya saya juga ngga tau)





PROSES PEMBUATAN WARNA ALAMI

Menurut Standard Industri Indonesia [SII]. Batik adalah bahan tekstil hasil perwanaan menurut ornamen khas motif batik Indonesia, secara pencelupan rintang [resist dyeing technique] dan dengan menggunakan lilin batik sebagai bahan perintang [resist agent].


Teknologi Batik dapat dilihat dari :
1. Bahan kain putih [mori, sutera, wool]
2. Lilin/malam
3. Bahan pewarna
4. Bahan pembantu pewarnaan
5. Proses pembuatan batik


Simbolisme pada batik ditampilkan oleh warna-warna yang diterapkan pada motif-motifnya. Seperti halnya dengan ornamen pada batik tradisional penyusunan warna-warnanya mempunyai arti filosofis yang selalu dikaitkan dengan faham kesaktian.
Warna batik tradisional adalah biru/hitam, merah coklat/soga dan putih. Warna biru/hitam melambangkan keabadian, warna putih melambangkan hidup atau sinar kehidupan dan warna merah/soga memberikan arti kebahagiaan.


Bahan Pewarna Alam


Di Yogyakarta khususnya, warna batik tradisional adalah biru/hitam, soga coklat dan putih dari pewarna alam :
Biru/Hitam diambil dari daun tanaman indigofera yang disebut juga nila atau tom yang difermentasi


Cara Pencelupan/Pewarnaannya :



- 500 gram pasta indigo dilarutkan dalam 5 liter air
- Ditambahkan 100gr kapur dan 100gr gula aren yang telah dilarutkan, diaduk lalu didiamkan, larutan sudah bisa digunakan.
- Kain direndam dalam larutan selama +/- 15 menit, diangkat, ditiriskan, mula-mula kain berwarna kuning, hijau kemudian setelah teroksidasi berwarna biru
- Pencelupan dilakukan berulang sampai diperoleh warna yang dikehendaki


Soga/Coklat


Warna ini diambil dari campuran kulit pohon tinggi arah warna merah, kulit pohon jambal arah warna merah coklat dan kayu tegeran arah warna kuning.
Untuk membuat soga terantung campuran ketiga bahan tersebut. Contohnya bisa diambil campuran kulit kayu tinggi 5Kg, kulit kayu jambal 10Kg dan kulit tegeran 3Kg.
Bahan-bahan itu dipotong kecil-kecil, dicuci dan direbus kemudian disaring diambl ekstraknya. Ekstrak atau air soga ini setelah dingin siap dipakai untuk menyoga kain.


Cara Pencelupan.


Bahan kain dimasukkan kedalam larutan soge sekitar 15 menit lalu ditiriskan, pencelupan dilakukan beberapa kali sampai tercapai warna yang dikehendaki.


Fiksasi zat warna alam soga.


Dengan larutan kapur, untuk 50 gram kapur tohor [CaCo3] dilarutkan dalam air 1 liter, didiamkan dan setelah mengendap larutan dipisahkan. Kain setelah celupan terakhir dimasukan kedalam larutan kapur selama 20 menit kemudian ditiriskan. Setelah kering lalu dicuci bersih. [dari Batik-ragam hias ceplok-Sekar Jagad]

sumber